Kedatangan Kerajaan Allah: Bertobat dan Diperbarui
Seringkali, ketika kita mendengar seruan “bertobatlah”, yang terbayang di benak kita adalah suasana yang suram, penuh rasa bersalah, dan menakutkan. Kita teringat pada sosok Yohanes Pembaptis di padang gurun Yudea – tegas, keras, dengan jubah bulu unta – yang berseru agar orang-orang melarikan diri dari murka yang akan datang. Namun, jika kita menyelami hati manusia, seruan untuk menyambut Kerajaan Allah ini sebenarnya adalah sebuah undangan untuk kita diperbarui.
Inilah tantangan yang dihadapi seorang teman yang namanya sebut saja sebagai Andi. Di mata publik, ia adalah orang Kristen teladan. Pelayanannya aktif, doanya fasih, dan ia selalu ada dalam kegiatan gereja. Sayangnya, di balik penampilan publiknya, kehidupan privatnya berantakan. Ia memiliki amarah yang liar dan meledak-ledah. Bagi anak istrinya, Andi adalah seorang tiran yang membuat mereka berjalan di atas kulit telur.
Tanpa disadarinya, Andi sebetulnya sedang menikmati apa yang oleh teolog Dietrich Bonhoeffer disebut sebagai “anugerah murahan” (cheap grace). Bonhoeffer menjelaskan kondisi ini sebagai “anugerah tanpa mengikut Yesus, anugerah tanpa salib, anugerah tanpa Yesus Kristus yang hidup dan berinkarnasi.” Andi telah menerima pengampunan Tuhan, tetapi ia menolak bagian yang paling penting, salib disiplin dan perubahan karakter.
Sampai pada suatu malam, sebuah momen yang disebut Yohanes Pembaptis sebagai “kapak yang tersedia pada akar pohon” (Mat. 3:10) terjadi. Putri kecilnya tidak sengaja menumpahkan kopi di atas laptop kerja Andi. Hal ini membuat Andi meledak. Ia membentak dan menggebrak meja dengan keras. Untuk pertama kalinya, Andi melihat bukan hanya ketakutan, tetapi juga keputusasaan di mata putrinya itu.
Malam itu, di tengah keheningan yang mencekam setelah badai amarah usai, Andi membaca ulang Matius 3 dan tiba-tiba menyadari bahwa ia seperti orang yang Yohanes tegur, tidak memiliki buah yang sesuai dengan pertobatan (Mat. 3:8).
Kesadaran itu menuntut metanoia – bukan sekadar penyesalan (regret), tetapi perubahan pikiran yang radikal, diikuti perubahan arah hidup. Andi sadar, selama ini ia hanya melakukan “ritual pertobatan” – meminta maaf, lalu mengulanginya lagi. Ia seperti sekam yang diterbangkan angin, tidak memiliki bobot gandum yang berisi. Ia menyadari bahwa Kerajaan Allah tidak bisa disambut dengan topeng kesalehan. Tuhan tidak menginginkan jubah pelayanannya; Tuhan menginginkan hatinya yang hancur dan siap dibentuk ulang.
Andi mengambil langkah sulit. Ia rehat dari panggung pelayanan publik dan mulai memprioritaskan penyembuhan hati di rumah, mencari bantuan konseling, dan dengan sungguh-sungguh belajar kerendahan hati. Proses ini adalah fase penampian (ay. 12) yang menyakitkan, memisahkan “gandum” (karakter sejati) dari “sekam” alias kebanggaan dan kepura-puraan.
Kerajaan Allah sudah dekat. Ia menuntut kita untuk menyambutnya bukan hanya dengan iman di bibir, tetapi dengan perombakan batin yang menghasilkan buah damai dan kasih. Jangan berpuas diri hanya dengan status agama. Mari kita biarkan Kapak Tuhan menyentuh akar kehidupan kita, sehingga kita dapat diperbarui dan menghasilkan buah yang layak bagi Sang Raja. ** GE
