Kasih Allah: 3 Interpretasi yang Gagal Paham
Setiap orang percaya akan dengan mudah mengimani bahwa Allah adalah kasih. Namun, benarkah kita memahaminya? Seorang ateist (orang yang tidak percaya Tuhan) bernama G. H Hardy adalah seorang matematikawan yang kritis, pernah berdialog dengan seseorang agamawan. Dengan tegas Hardy katakan, “tidak ada Tuhan.” Namun lawan bicaranya mengatakan, “Sebetulnya kalau mau jujur, di hati terdalam Anda, Anda percaya Tuhan. Hanya saja anda merasa bahwa ia tidak begitu mengasihi Anda”.
Dari kisah di atas kita bisa berkesimpulan bahwa sebetulnya orang yang meragukan Tuhan atau bahkan sampai tidak percaya, itu mungkin saja disebabkan oleh pengertian “kasih Allah” yang ngawur dan berbeda dari apa yang hendak dinyatakan oleh Firman Tuhan. Itu sebab, dalam tulisan kali ini, kita akan membahas setidaknya 3 pola pikir yang gagal paham berkenaan tentang kasih Allah.
Pertama, kasih Allah adalah kasih yang sama seperti kasih manusia.
Ketika berbicara tentang Allah, kesalahan yang kerap terjadi adalah manusia merasionalkan Allah. Observasinya tentang apa yang terjadi di dunia, dianalogikan dan diterapkan kepada Allah. Misalnya, dewasa ini kasih yang dunia gembar-gemborkan adalah kasih yang “romantis” dan “sentimental”. Jika dunia secara mayoritas menafsirkan kasih adalah seperti demikian, maka mereka cenderung berpikir bahwa kasih Allah juga serupa.
Ludwing Feurbach, seorang filsuf Jerman pernah menyatakan bahwa Allah hanya proyeksi manusia, dan idealisasi dari natur manusia. Misalkan dunia hari ini mengajarkan kasih adalah kasih sentimental, maka Allah adalah pribadi yang paling sentimental, dalam logika pikir Feurbach (sekalipun baginya tidak ada Tuhan).
Padahal, ketika berbicara tentang kasih Allah, penting kita ingat bahwa titik mula atau jangkar pikirannya adalah teologia bukan antropologi. Maka kasih Allah harus dimengerti dari Firman Allah, bukan rasio manusia atau apa yang dirasa benar. Firman jelas menyatakan kasih Allah bukan kasih yang sentimental, tetapi transformasional. Tuhan bukan sekedar jago berbicara manis dan berkata, “aku mengasihimu”, namun ia rela mati, melakukan tindakan inkarnasional, untuk menyelamatkan kita, manusia yang bedosa (lihat Flp. 2:6-8; 2 Kor. 8:9; Yes. 53:3-5).
Kedua, kasih Allah adalah kasih yang diberi karena performa manusia.
Bukan sekadar kasih Allah berbeda dan tidak dapat disamakan dengan kasih manusia, tetapi kasih-Nya juga dinyatakan atas dasar kebaikan, kemurahan dan anugrah-Nya. Mengapa demikian? Karena jika kasih Allah dinyatakan kepada manusia sesuai dengan performa dan hidup manusia, maka tidak mungkin manusia dikasihi Allah. Firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang benar di hadapan Allah yang Maha Kudus (Rm. 3:10). Allah tidak dapat “disogok” dengan tindakan manusia, seolah jika kita sudah melakukan sesuatu hal yang baik, maka Tuhan yang Maha Kasih akan menimpali kita dengan “sorga”. Tidak demikian. Keselamatan yang hadir dan lahir dari kasih Allah adalah anugerah pemberiaan semata. Dengan demikian, setiap manusia berdosa tidak dapat bermegah (Ef. 2:8-9) dengan mengatakan, “Tuhan sayang aku, karena aku hebat!”
Pilar reformasi dengan jelas menyatakan butir yang kita kenal dengan sebutan “sola gratia” (grace alone), yang berarti keselamatan berasal dari Allah. Kasih tercurah dari surga, bukan karena manusia baik, tetapi karena Allah baik. Kevin Vanhoozer pernah mengatakan bahwa kasih Allah yang hadir melalui Anugrah Tuhan semata (grace alone) adalah fondasi kebenaran yang mengukuhkan bahwa kekeristenan hadir, sebagai pewarta kabar baik (good news).
Ketiga, kasih Allah adalah kasih penuh tanpa pendisiplinan.
“Allah tidak mungkin marah, apalagi sampai menghukummu, jadi santai saja!” Pernyataan ini seolah menampilkan gambaran Allah yang berlimpah kasih-Nya. Ajaran Allah yang mengasihi tanpa dapat menyatakan keadilan adalah ajaran populer yang menyesatkan. Ajaran ini kerap dikenal dengan ajaran “hyper grace”, atau lebih tepatnya “distorted grace”. Namun, perlu dipahami bahwa kasih yang hanya menekankan sisi kasih tanpa dimensi keadilan, akan gagal memahami kasih Allah.
Dengan jelas Ibrani 12:6 menyatakan bahwa bagi siapa yang Tuhan kasihi, Ia disiplinkan. Firman ini dengan jelas menunjukan bahwa adalah sangat mungkin bagi Allah untuk menyatakan penghakimannya kepada orang percaya, sebagai bentuk edukasi kepada anak yang dikasihinya. Bukan karena Allah kejam, tetapi justru demi kebaikan orang yang didisiplinkan, sehingga mereka dapat bertobat, bertumbuh, berbuah. Seorang teolog pernah katakan, hal yang paling mengerikan bukan ketika seseorang ditegur, didisplinkan Allah, sehingga kita bertobat, namun ketika Allah sudah membiarkan kita tenggelam dalam dosa kita (lihat Rm. 1:24). Pendisiplinan dari Allah tidak berkontradisi dengan pengertian Allah yang adalah kasih, bahkan justru pemikiran ini semakin mengukuhkan bahwa Allah sungguh adalah kasih. * YT
Pertanyaan Refleksi.
- Sudakah kita kagum dan takjub atas kasih Allah yang melampaui pengertian kita tentang kasih?
- Sejauh mana kita mensyukuri kasih Allah yang diberikan kepada kita yang tidak layak menerimanya?
- Sudakah kita mensyukuri pendisplinan dari Allah yang merupakan bentuk kasih-Nya?