Lapar dan Haus akan Firman Tuhan
Amos 8:11–12, Mazmur 19:8–11
Pendahuluan
Sejarah mencatat bahwa kehancuran suatu bangsa bukan hanya karena serangan militer, krisis ekonomi, atau bencana alam, tetapi seringkali karena hilangnya fondasi moral dan rohani. Nabi Amos menegaskan bahwa hukuman paling berat bagi Israel bukan sekadar kelaparan fisik, tetapi kelaparan akan firman Tuhan (Amos 8:11). Ketika umat tidak lagi mengenal suara Allah, mereka tersesat dalam ketidakadilan, korupsi, dan penyembahan berhala, akibatnya bangsa itu hancur dari dalam.
Kondisi ini tidak asing bagi kita di Indonesia hari ini. Kita hidup di tengah bangsa yang kaya sumber daya, tetapi sering dilanda krisis moral, korupsi merajalela, kekerasan meningkat, keadilan sering diperdagangkan, bahkan kebenaran diputarbalikkan. Semua ini adalah tanda bahwa firman Tuhan kurang dikenal, kurang dihargai, dan kurang dihidupi. Kita bisa memiliki pembangunan yang megah, ekonomi yang bertumbuh, teknologi yang maju, tetapi tanpa dasar firman semuanya rapuh.
Inilah yang sedang diingatkan oleh nabi Amos, kelaparan dan kehausan yang paling berbahaya bukanlah karena tidak adanya makanan atau minuman, tetapi karena firman Tuhan yang tidak lagi terdengar. Kehancuran bangsa Israel bermula dari kehilangan pengenalan akan firman, dan hal itu juga menjadi peringatan serius bagi kita di Indonesia.
Selain itu kitab Amos pasal 5 memperlihatkan dengan jelas bagaimana kondisi rohani umat Tuhan pada masa itu. Mereka masih rajin beribadah, membawa korban, bahkan mengadakan nyanyian rohani. Namun Tuhan menolak semuanya itu, “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada pertemuan rayamu ... Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, bunyi gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:21, 23–24).
Artinya, masalah utama Israel bukanlah kurangnya aktivitas keagamaan, melainkan ibadah tanpa ketaatan. Mereka rajin datang ke rumah Tuhan, tetapi kehidupan sehari-hari penuh dengan ketidakadilan, penindasan, dan korupsi. Allah tidak mencari liturgi yang megah, tetapi hidup yang berakar pada kebenaran dan keadilan.
Situasi ini relevan bagi kita, pada saat ini kita melihat menjamurnya rumah ibadah dan maraknya aktivitas keagamaan dari berbagai agama. Banyak orang rajin beribadah secara lahiriah, tetapi kehidupan sosial tetap diwarnai ketidakadilan, kekerasan, dan korupsi. Bagi gereja, pesan ini lebih tajam lagi, aktivitas ibadah yang meriah, liturgi yang indah, dan nyanyian yang megah tidak berkenan di hadapan Tuhan bila tidak diwujudkan dalam kasih, integritas, dan pembelaan terhadap yang tertindas.
Dengan demikian, kitab Amos pasal 8 mengungkapkan hukuman logis dari sikap itu, ketika umat terus-menerus menolak firman dalam kehidupan nyata, pada akhirnya Tuhan menarik firman-Nya. Inilah kelaparan dan kehausan yang paling mengerikan – bukan karena firman terlalu sulit didengar, melainkan karena firman sudah lama diabaikan.
Bayangkan sebuah negeri yang dilanda kelaparan fisik, orang berjalan berhari-hari mencari makanan, setiap sudut kota kosong, dan setiap perut kosong hanya berisi angin. Lalu bandingkan dengan gambaran Amos, orang berlari dari utara ke selatan, dari timur ke barat, tetapi yang mereka cari bukan gandum atau air, melainkan firman Tuhan – dan mereka tidak menemukannya. Mereka lapar, tetapi bukan lapar nasi; mereka haus, tetapi bukan haus air. Mereka kosong karena firman Allah sudah tidak lagi terdengar.
Bukankah ini lebih mengerikan? Tanpa nasi kita bisa mati tubuh, tetapi tanpa firman kita mati jiwa. Tubuh mungkin bisa bertahan beberapa hari tanpa makanan, tetapi jiwa yang lama kekurangan firman menjadi kering, keras, dan kehilangan arah. Inilah hukuman paling serius, Allah membiarkan manusia menuai akibat dari ketidakpeduliannya sendiri terhadap firman.
Dengan kata lain, siapa yang mengeraskan hati terhadap firman (Amos 5), akan ditinggalkan tanpa firman (Amos 8). Inilah puncak hukuman, hidup tanpa suara Allah, tanpa arah, tanpa penghiburan, dan tanpa harapan.
Firman Tuhan bagi Kehidupan
Namun, Mazmur pasal 19 menolong kita melihat betapa besar kerugian ketika firman Tuhan tidak lagi menjadi pusat hidup umat-Nya. Pemazmur bersaksi bahwa firman Tuhan itu sempurna, menyegarkan jiwa; dapat dipercaya, memberi hikmat kepada orang sederhana; benar, memberikan sukacita bagi hati; murni, membuat mata bercahaya; dan adil, menjadi dasar penghakiman yang benar. Artinya, ketika firman Tuhan ditolak, semua ini ikut hilang, jiwa menjadi kering, hidup kehilangan hikmat, hati menjadi tawar, mata gelap tanpa pengharapan, dan keadilan tergantikan oleh penindasan. Inilah yang sebenarnya digambarkan Amos sebagai kelaparan dan kehausan rohani – bukan sekadar ketiadaan informasi, melainkan hilangnya sumber kehidupan, sukacita, terang, dan keadilan.
Jika Amos memperingatkan bahwa kehilangan firman berarti hukuman dan kehancuran, pemazmur justru menunjukkan wajah sebaliknya, ketika firman hadir dan dihidupi, hidup akan dipenuhi sukacita dan arah yang jelas.
Firman itu Sempurna, Memberi Kesegaran Jiwa
“Firman TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa” (Mazmur 19:8). Kata “sempurna” bisa berarti: lengkap, utuh, tanpa cacat, tidak terbagi, konsisten. Dalam Perjanjian Lama, kata ini sering dipakai untuk korban yang “tidak bercacat” (Imamat 1:3). Jadi, firman Tuhan disebut sempurna karena utuh, dapat diandalkan, tidak ada kekurangan atau kerusakan di dalamnya.
Kontrasnya, kitab Amos pasal 8 menggambarkan masa ketika firman Tuhan tidak lagi ditemukan – ada kelaparan dan kekosongan rohani. Orang berkeliling dari utara ke selatan mencari firman, tetapi tidak mendapatkannya. Gambaran itu begitu menakutkan, hidup tanpa firman berarti hidup tanpa arah, tanpa penghiburan, dan tanpa dasar pengharapan. Tetapi dalam kitab Mazmur pasal 19, firman hadir sebagai sesuatu yang utuh dan lengkap bagi kebutuhan manusia. Pemazmur juga berkata, firman Tuhan itu memulihkan jiwa (meshivat nefesh), bukan hanya memberi informasi melainkan transformasi. Firman membawa orang yang letih kembali hidup, orang yang sesat kembali ke jalan, orang yang patah hati dipulihkan.
Ketika terjadi kerusuhan di awal bulan ini, hampir semua orang menjadi lesu, takut, dan tertekan. Banyak yang bertanya-tanya di mana rasa aman? Bagaimana masa depan bangsa ini? Di tengah kondisi seperti itu, kita mudah kehilangan semangat dan arah. Selain itu hari ini juga banyak orang lelah oleh masalah hidup, tekanan ekonomi, pergumulan keluarga, pergumulan pekerjaan, dan sebagainya. Mazmur pasal 19 menegaskan bahwa kesegaran sejati datang dari firman, bukan sekadar hiburan atau pelarian sesaat.
Apabila tidak ada firman Tuhan yang menjadi dasar kekuatan kita, maka kita akan dengan mudah menjadi frustasi, putus asa, mengambil jalan pintas untuk masalah kita. Kita juga akan diombang-ambingkan oleh berita-berita yang membuat kita gelisah dan takut.
Di saat semua berita membuat hati gelisah, firman Tuhan tetap utuh, konsisten, dan dapat diandalkan. Dunia bisa penuh dengan kabar buruk, tetapi firman selalu memberi kabar baik. Yang perlu kita lakukan adalah terus mencari Tuhan dan Firman-Nya.
Sebagai gereja, kita dipanggil untuk menjadikan firman Tuhan pusat dari segala sesuatu – ibadah, pelayanan, maupun kehidupan sehari-hari, sebab hanya firman yang sanggup menyegarkan jiwa yang letih, memberi arah di tengah kebingungan, dan memulihkan hati yang hancur. Itu berarti ibadah kita tidak boleh berhenti pada ritual yang indah, tetapi harus melahirkan kehidupan yang penuh keadilan, kasih, dan kesaksian nyata di tengah masyarakat. Salah satu tanda dari gereja yang hidup adalah ketika mimbarnya kuat dengan pengajaran Alkitab yang benar, Alkitab menjadi dasar utama dalam menjalankan kehidupan dan pelayanan gereja, dan jemaat memiliki kehausan dan kerinduan untuk belajar firman Tuhan.
Firman Memberi Hikmat, Sukacita, dan Terang
“Peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya” (Mazmur 19:8-9). Firman Tuhan memberi hikmat kepada orang yang tak berpengalaman, menyukakan hati, dan membuat mata bercahaya. Hikmat di sini bukan sekadar pengetahuan intelektual, tetapi kearifan untuk hidup benar di hadapan Allah – dan itu diberikan kepada semua orang, bahkan yang sederhana sekalipun. Dengan kata lain, firman tidak eksklusif hanya bagi yang pintar atau berpendidikan tinggi; siapa pun kita, firman sanggup menuntun jalan hidup kita.
Firman ini disebut “titah yang tepat,” artinya lurus, benar, dan tidak menyesatkan. Hati yang menaati firman akan mengalami sukacita sejati, dan mata yang bercahaya menandakan semangat hidup serta arah yang jelas, bahkan di tengah situasi yang gelap dan penuh ketidakpastian. Firman Tuhanlah yang membuat kita berdiri tegak ketika dunia dipenuhi rasa takut, kecemasan, dan kebingungan.
Namun, Amos memberi peringatan serius, bangsa yang mengabaikan firman akan jatuh dalam kekacauan moral. Dari luar, mereka bisa tampak religius dan berhasil – ibadah tetap berlangsung, korban tetap dibawa, bahkan musik tetap berkumandang, tetapi Allah menolaknya karena semua itu kosong tanpa ketaatan. Gambaran ini tidak jauh dari gereja masa kini, gedung yang megah, program yang ramai, dan anggaran yang besar tidak menjamin bahwa ibadah berkenan di hadapan Tuhan jika firman tidak lagi menjadi pusatnya.
Karena itu, firman ini menjadi panggilan penting bagi kita semua. Sebagai gereja, kita harus berhati-hati agar tidak mengandalkan kekuasaan, uang, atau strategi manusiawi sebagai ukuran keberhasilan pelayanan. Sebagai pribadi, kita pun dipanggil untuk tidak cepat bergantung pada kepintaran, relasi, atau harta ketika menghadapi tantangan hidup. Hikmat sejati hanya lahir dari firman Tuhan yang lurus dan murni. Ketika kita mengabaikannya, yang muncul hanyalah kesombongan, kebingungan, dan kegelapan rohani. Tetapi ketika kita merendahkan diri, membuka hati, dan membiarkan firman menuntun, maka baik gereja maupun jemaat akan dipenuhi sukacita sejati dan terang yang memberi arah jelas.
Sebab itu, marilah kita kembali menjadikan firman sebagai pusat dalam setiap keputusan, baik dalam pelayanan, pekerjaan, keluarga, maupun kehidupan sehari-hari, agar yang nyata dalam hidup kita bukanlah kuasa manusia melainkan kuasa Allah yang memimpin dalam kebenaran dan kasih.
Firman Tuan itu Suci, Benar, dan Adil
“Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya” (Mazmur 19:10). Takut akan TUHAN itu suci, hukum-hukum-Nya benar, dan adil semuanya. Artinya, hidup yang ditopang oleh firman akan menghasilkan kesucian, kebenaran, dan keadilan yang bertahan selamanya. Sebaliknya, Amos pasal 8 menggambarkan bangsa yang kehilangan firman Tuhan – orang berjalan ke sana kemari mencari suara Allah tetapi tidak menemukannya. Hasilnya adalah kehancuran rohani, kekosongan, ketidakadilan, dan kebingungan moral.
Kitab Amos menunjukkan bahwa keadaan itu terjadi bukan karena umat berhenti beribadah, melainkan karena ibadah mereka kehilangan isi. Amos pasal 5 mencatat bahwa meskipun perayaan, nyanyian, dan korban persembahan tetap dijalankan, Tuhan menolaknya sebab tidak ada keadilan dan kebenaran di dalamnya. Mereka rajin beribadah di bait Allah, tetapi di pasar mereka menindas orang miskin, di pengadilan mereka memperjualbelikan kebenaran. Dengan kata lain, mereka memisahkan liturgi dari kehidupan nyata, dan itulah yang membuat ibadah mereka dibenci Tuhan.
Kondisi ini adalah cermin bagi gereja masa kini. Dari luar, sebuah gereja bisa tampak berhasil – gedungnya megah, programnya berjalan, dan kegiatannya penuh semangat, namun jika firman tidak lagi menjadi dasar, yang muncul hanyalah kompromi, ketidakadilan, dan kebingungan moral. Godaan untuk mengandalkan kekuasaan, uang, atau kenyamanan sering kali membuat gereja kehilangan suara profetisnya. Karena itu, firman ini bukan hanya penghiburan, melainkan juga panggilan serius agar gereja kembali hidup kudus, berpegang pada kebenaran, dan menghadirkan keadilan di tengah dunia yang haus akan terang Allah.
Bagi setiap jemaat, ini berarti kita dipanggil untuk menjaga kekudusan hidup di tengah dunia yang kotor, tetap setia pada kebenaran meski banyak suara menyesatkan, dan berani membela yang lemah meski itu menuntut pengorbanan. Dengan demikian, gereja bukan hanya tempat berkumpul, melainkan benar-benar menjadi saksi nyata, suara profetis yang menghadirkan terang Allah di tengah masyarakat.
Penutup
Mazmur pasal 19 menegaskan bahwa firman Tuhan itu sempurna, menyegarkan jiwa; memberi hikmat, sukacita, dan terang; serta benar, adil, dan suci. Firman bukan hanya informasi, melainkan kekuatan yang mengubah hidup. Kontras dengan Amos pasal 8, ketika firman tidak lagi terdengar, umat hidup dalam kelaparan rohani, kehilangan arah, dan putus harapan. Kita belajar bahwa keberadaan atau ketiadaan firman menentukan kehidupan umat Tuhan.
Hari ini, dunia kita pun sering dilanda “kelaparan rohani.” Banyak orang mencari penghiburan dalam hiburan, harta, atau kuasa, tetapi hanya firman Tuhan yang memberi kesegaran sejati, hikmat yang lurus, sukacita yang mendalam, dan terang yang menuntun jalan kita. Karena itu, gereja dipanggil untuk kembali menjadikan firman sebagai pusat ibadah, pelayanan, dan seluruh kehidupan jemaat. Dan secara pribadi, kita pun diajak untuk menjadikan firman sebagai fondasi setiap keputusan, kekuatan dalam pergumulan, dan pedoman di tengah gelapnya dunia.
Saudara-saudara, mari kita bertanya dengan jujur, apakah kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai gereja, sungguh masih lapar dan haus akan firman Tuhan? Ataukah kita telah menggantikannya dengan kenyamanan, program, atau kekuatan manusia?
Hari ini Tuhan memanggil setiap jemaat untuk kembali merindukan firman-Nya – membacanya, merenungkannya, dan menghidupinya dalam keluarga, pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari. Dan Tuhan juga memanggil gereja-Nya untuk bertobat dari kecenderungan mengandalkan diri sendiri, hikmat dan kekayaan manusia untuk kembali menegakkan firman sebagai pusat dari ibadah dan pelayanan.
**Bahan sharing khotbah dalam rangka minggu STTB, 28 September 2025, oleh Ibu Ev. Dwi Maria.