Bagikan artikel ini :

Penantian yang Berbuah: Dari Iman, Pengharapan, dan Kasih

Orang percaya selalu hidup dalam penantian. Di zaman Perjanjian Lama, umat Allah menantikan kedatangan Mesias yang membawa keselamatan. Penantian itu digenapi ketika Yesus Kristus, Putra Allah, berinkarnasi menjadi manusia. Namun, setelah Ia menyelesaikan karya keselamatan-Nya dan naik ke surga, kita kembali menantikan kedatangan-Nya yang kedua kali.

Penantian ini tidak boleh dijalani dengan sikap pasif, terlena, atau tidak melakukan apa-apa. Sebaliknya, kita dipanggil untuk menanti dengan sikap produktif. Produktivitas dunia sering digambarkan seperti mesin pabrik yang terus berputar, bergerak, dan menghasilkan barang tanpa henti – sibuk, melelahkan, dan membisingkan. Tetapi Alkitab menggambarkan produktivitas orang percaya dengan cara yang berbeda: seperti pohon yang berbuah. Demikian juga murid-murid Yesus, mereka dipanggil untuk hidup dalam penantian yang aktif dan berbuah lebat, menghasilkan karya yang memuliakan Allah.

Produktivitas orang percaya dapat digambarkan seperti pohon yang berbuah, yang bertumpu pada tiga hal: iman, pengharapan, dan kasih. Iman bagaikan akar pohon yang tertanam dalam, menembus tanah dan membuat batangnya berdiri kokoh, tidak mudah goyah meski diterpa angin badai. Pengharapan seperti batang yang sehat, menerima nutrisi dari tanah yang subur sehingga bertumbuh, bercabang, dan menghasilkan ranting serta daun yang rimbun. Kasih adalah buah yang muncul pada waktunya, buah yang nyata dan dapat dinikmati orang lain (Mzm. 1:1-8).

Iman yang Teguh di Dalam Kristus

Elemen pertama dalam penantian yang berbuah adalah iman. Menurut Yohanes Calvin, iman sejati adalah “suatu pengetahuan yang teguh dan pasti tentang kasih Allah kepada kita. Pengetahuan ini berdasar pada kebenaran janji-Nya yang diberikan secara cuma-cuma di dalam Kristus. Janji itu dinyatakan kepada pikiran kita dan dimeteraikan di dalam hati kita oleh Roh Kudus.”

Ada beberapa ciri iman sejati. Pertama, iman adalah suatu pengetahuan atau pengenalan akan Allah. Jadi, objek iman adalah Allah yang esa. Tetapi ini tidak cukup karena agama-agama lain juga mengakui Allah yang esa. Oleh sebab itu, Alkitab memberikan kualifikasi bahwa Allah yang esa harus dikenal di dalam Yesus Kristus (Yoh. 17:3). Allah adalah tujuan, dan Yesus Kristus adalah jalan satu-satunya kepada tujuan itu (Yoh. 14:6).

Kedua, iman sejati adalah pengetahuan yang teguh dan pasti, bukan “percaya buta” atau Calvin menyebutnya “ketidaktahuan yang dianggap saleh” (pious ignorance). Calvin menolak ajaran Katolik tentang iman implisit, di mana orang percaya tidak perlu tahu atau mengerti isi iman Kristen dengan jelas, tetapi cukup percaya kepada semua yang Gereja ajarkan, meski tidak tahu atau tidak mengerti isinya. Karena Alkitab mengajarkan bahwa iman sejati harus memiliki pengertian. Hati harus percaya, dan mulut harus mengaku, agar seseorang dibenarkan dan diselamatkan (Rm. 10:10). Yesus berkata, ia seperti benih ditabur di tanah yang subur, ia mendengar dan mengerti, dan karena itu ia berbuah (Mat. 13:23).

Ketiga, iman adalah anugerah, pemberian cuma-cuma di dalam Yesus Kristus. Iman bukan usaha manusia. Seseorang dapat percaya hanya karena Roh Kudus telah terlebih dahulu berkarya di dalam hatinya. Tanpa karya Roh Kudus, tidak seorang pun dapat mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan (1 Kor. 12:3) dan memanggil Allah sebagai Bapa (Rm. 8:15).

Iman sejati adalah seperti benih jatuh di tanah yang subur, akarnya tertancap dalam, maka ia akan bertumbuh besar, dan berbuah lebat (Mat. 13:23). Sebaliknya, iman yang palsu seperti benih jatuh di tanah berbatu-batu: ia bertumbuh, tetapi karena ia tidak berakar, maka bertahan sebentar saja, menjadi layu, dan mati (Mat. 13:20-21).

Pengharapan yang Menopang Iman

Elemen kedua dari penantian yang berbuah adalah pengharapan. Pengharapan dan iman memiliki kesamaan, yakni keduanya memiliki objek yang tidak kelihatan. Iman adalah percaya tanpa melihat (Ibr. 11:1; Yoh. 20:29). Berharap adalah menanti-nanti janji Allah yang belum digenapi (Ibr. 11:9-10; 11:24-26). Apa yang kelihatan bukan pengharapan, dan kita tidak berharap apa yang kita lihat (Rm. 8:24).

Namun keduanya bisa dibedakan dari arah tatapannya. Iman menatap ke belakang dan ke depan. Beriman berarti percaya hal-hal yang telah terjadi, sekalipun tidak melihatnya, seperti kita percaya Yesus sudah mati dan bangkit bagi kita dua ribu tahun yang lalu. Iman juga menatap ke depan, yakni percaya hal-hal yang belum terjadi, seperti kita percaya Ia akan datang kembali untuk kedua kalinya. Pengharapan, sebaliknya, hanya memiliki satu arah, yakni menatap ke depan, kepada hal-hal yang belum terjadi. Maka, kita tidak lagi berharap kedatangan-Nya yang pertama, karena itu sudah terjadi, tetapi hanya berharap kedatangan-Nya yang kedua kalinya.

Iman sejati harus didampingi dengan pengharapan. Iman melahirkan pengharapan: jika Allah benar, maka janji-Nya pasti digenapi (Rm. 8:24; Ibr. 11:1). Jika janji-Nya pasti digenapi, maka kita berharap dan pengharapan kita tidak akan sia-sia. Sebaliknya, jika tidak ada pengharapan, maka iman menjadi tidak berguna, kosong, dan palsu. Iman adalah keyakinan teguh akan kebenaran Allah, bahwa janji-Nya tidak akan membohongi kita, tidak akan menipu kita, dan tidak akan menjadi kosong. Siapa yang memegang teguh kebenaran ini akan dengan yakin berharap waktunya Allah akan memenuhi janji-janji-Nya, yang mereka percaya pasti benar. Dengan demikian, jika orang Kristen gagal berharap, maka ada masalah dengan keteguhan imannya.

Mengapa iman perlu pengharapan? Pertama, karena kadang Tuhan tidak segera, tetapi menunda mewujudkan janji-Nya (Hab. 2:3). Kadang, Ia menyembunyikan wajah-Nya, yakni Ia murka kepada kita umat-Nya (Yes. 8:17). Dan kita hidup dalam dunia ini, di mana para pencemooh meragukan janji kedatangan Kristus (2 Ptr. 3:3-4). Dalam keadaan seperti ini, iman kita harus diperkuat oleh pengharapan yang sabar, yang berfokus pada kekekalan, sehingga kita belajar memandang seribu tahun seperti satu hari (Mzm. 90:4; 2 Ptr. 3:8).

Kasih sebagai Buah dari Iman dan Pengharapan

Elemen terakhir dari penantian yang berbuah adalah kasih. Jika iman adalah akar dari satu pohon, pengharapan batang dan cabangnya, maka kasih adalah buahnya. Iman sejati melahirkan pengharapan dan kasih. Iman pada dasarnya menikmati kelimpahan kebaikan Allah, dan tidak ada yang menikmati kebaikan Allah tanpa ditarik untuk mengasihi Dia. Seperti Yonatan yang lelah tetapi segar kembali setelah mencicipi madu (1 Sam. 14:27), demikianlah iman menghasilkan cinta akan Allah di dalam kita.

Kasih yang lahir dari iman dan pengharapan tidak berhenti pada relasi pribadi dengan Allah, tetapi nampak dalam tindakan nyata kepada sesama. Paulus menegaskan, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39) dan “Kasih membangun” (1 Kor. 8:1). Itulah sebabnya kasih menjadi tanda bahwa penantian kita tidak sia-sia: dengan mengasihi, kita membangun tubuh Kristus (Ef. 4:16) dan menjadi saksi tentang Injil bagi dunia (Yoh. 13:35).

Penutup

Karena itu, marilah kita menantikan Kristus dengan iman yang teguh, pengharapan yang tidak goyah, dan kasih yang nyata. Dalam ketiganya, penantian kita bukanlah penantian yang kosong, melainkan penantian yang berbuah dan memuliakan Allah sampai Yesus datang kembali. ** PD