Kisah Tragis Keluarga Daud
Absalom. Seorang pangeran yang mengkudeta ayahnya sendiri, Daud, bahkan berani mempermalukan ayahnya dengan “menghampiri gundik-gundik ayahnya di depan mata seluruh Israel” (2 Sam. 16:22). Pemberontakannya berakhir dengan kematiannya di medan perang (2 Sam. 18:9-14). Bagaimana tanggapan Anda terhadap anak seperti ini? Mungkin akan sangat mudah bagi kita, khususnya kita orangtua, untuk mengecam Absalom, “Dasar anak durhaka! Tidak tahu diuntung! Kok bisa-bisanya memberontak pada ayahnya sendiri, padahal ayahnya adalah orang yang saleh!”
Kecaman-kecaman seperti ini juga tidak jarang terlontar dari bibir orang-orang Kristen ketika melihat anak dari seorang rohaniwan atau aktivis gereja menjadi anak pemberontak dan menyeleweng jauh dari perilaku ayahnya. Namun, kadang kecaman dan penghakiman seperti ini hanya dilihat dari satu sisi, yakni sisi orangtuanya. Mengapa? Karena orangtuanya lebih dikenal, khususnya di lingkungan gereja. Jadi, mudah sekali untuk menghakimi si anak karena kita hanya melihat dari satu sisi.
Demikian pula halnya dengan Absalom. Sangat mudah mengecam dan menghakimi Absalom sebagai anak durhaka dan pemberontak. Jarang sekali kita bertanya, “Mengapa Absalom demikian membenci ayahnya?”, karena di kepala kita sudah tertanam bahwa, “Daud adalah orang yang saleh dan taat pada Tuhan. Tentu dia adalah orangtua yang baik pula.” Tetapi, apakah benar bahwa orang Kristen yang baik – dalam pengertian rajin pelayanan, menunjukkan teladan kepemimpinan yang baik di lingkungan gereja, berhasil menjalankan program-program gerejawi, dan lain sebagainya, pasti adalah orangtua yang baik pula?
2 Sam. 13:1-22 mencatat alasan kebencian Absalom kepada Daud. Dikisahkan bagaimana Amnon, anak sulung Daud yang sekaligus putra mahkota, memperkosa Tamar. Memang, Amnon tidak seibu dengan Tamar. Namun tetap saja tindakan Amnon melanggar hukum Taurat. Im. 18:9 mencatat, “Bila seorang laki-laki mengambil saudaranya perempuan, anak ayahnya atau anak ibunya, dan mereka bersetubuh, maka itu suatu perbuatan sumbang, dan mereka harus dilenyapkan di depan orang-orang sebangsanya; orang itu telah menyingkapkan aurat saudaranya perempuan, maka ia harus menanggung kesalahannya sendiri.” Perbuatan keji yang dilakukan Amnon seharusnya membuatnya layak untuk dihukum. Anehnya, Tamar sendiri sempat memohon kepada Amnon untuk tidak melakukan tindakan itu dengan mengatakan, “Oleh sebab itu, berbicaralah dengan raja, sebab ia tidak akan menolak memberikan aku kepadamu” (2 Sam. 13:13). Apa artinya ini? Ini berarti, Daud sudah begitu memanjakan Amnon, sampai-sampai Tamar tahu bahwa Daud bersedia melanggar perintah Tuhan asal anak sulungnya itu mendapatkan apa yang ia inginkan.
Sesudah memperkosa Tamar, Amnon bukannya bertanggung jawab, melainkan malah mengusirnya. Pada akhirnya, Tamar hanya bisa berlindung kepada Absalom, kakak laki-lakinya yang adalah putra kedua Daud. Aneh sekali bahwa sesudah mendengar perkataan tragedi yang dialami adiknya itu, Absalom bukannya segera bersuara dan melabrak atau menegur Amnon, melainkan malah menyuruh adiknya diam (2 Sam. 13:20) sementara ia sendiri tetap bersikap biasa-biasa saja dengan Amnon (2 Sam. 13:22). Mengapa Absalom tidak melindungi adiknya? Apakah ia sedang melakukan pembiaran?
Tidak! Absalom menyuruh Tamar diam bukan karena ia mengabaikannya, melainkan karena inilah satu-satunya cara yang Absalom tahu untuk melindungi kehormatan adiknya. Absalom tahu ayahnya itu tidak akan berbuat apapun. Hal ini tercatat secara implisit dalam 2 Sam. 13:21. Daud dikatakan “sangat marah,” tetapi ia tidak berbuat apapun. Versi Septuaginta (LXX) dari ayat ini menambahkan keterangan, “…but he vexed not the spirit of Amnon his son, because he loved him, because he was his firstborn…” (tetapi ia tidak merisaukan jiwa anaknya, Amnon, karena ia mengasihinya, karena ia adalah anak sulungnya). Sehingga, tidak heran Absalom menunggu dua tahun tanpa hasil (2 Sam. 13:23). Ayahnya tidak melakukan apapun untuk membela Tamar.
Tak hanya itu, beberapa penafsir Yahudi berpendapat bahwa alasan Daud mengabaikan kakak beradik ini adalah karena ibu mereka bukanlah orang Yahudi. Maakha, ibu dari Absalom dan Tamar, adalah anak Talmai yang adalah raja Gesur (2 Sam. 3:3). Di dalam keluarga modern yang ideal, tentu saja Absalom bisa langsung menegur dan mengharapkan keadilan dari ayahnya. Namun ini adalah keluarga kerajaan yang penuh dengan intrik-intrik, mirip dengan film kerajaan-kerajaan China atau Korea yang penuh dengan intrik politik, dimana mereka yang lebih lemah harus melakukan seribu satu siasat hanya untuk bertahan hidup dan melindungi diri. Jadi, satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh Absalom adalah menunggu waktu yang tepat untuk membalaskan dendam adiknya dengan membunuh Amnon. Bagaimanapun, inilah yang dilakukan Simeon dan Lewi ketika adik mereka, Dina, diperkosa oleh Sikhem (Kej. 34). Teladan inilah satu-satunya cara yang Absalom tahu untuk melindungi adiknya.
Pada akhirnya, Absalom melancarkan rencananya untuk membunuh Amnon, dan ia berhasil (2 Sam. 13:23-29). Tetapi perbuatan ini mengakibatkannya harus melarikan diri kepada kakek dari pihak ibunya, yakni Talmai yang ada di Gesur selama tiga tahun lamanya (2 Sam. 13:38). Singkat cerita, Absalom kemudian sempat kembali ke Yerusalem dan ia memimpin pemberontakkan untuk menggulingkan Daud.
Dalam hal ini, Daud gagal sebagai seorang ayah. Ya, ia adalah orang yang dikatakan berkenan di hati Tuhan (1 Sam. 13:14). Ia adalah seorang raja yang saleh dan taat. Namun ia bukanlah orangtua yang baik. Pembiaran yang dilakukannya terhadap Amnon, serta ketidakadilan yang ditunjukkannya kepada Tamar serta Absalom, adalah alasan mengapa tragedi keluarga ini terjadi.
Tetapi sebenarnya, ada alasan yang lebih mendasar. Kisah yang dituliskan sebelum kisah Amnon memperkosa Tamar, adalah kisah Daud memperkosa Batsyeba. Dengan mengurutkan kisah ini demikian, penulis Alkitab seolah-olah mau menunjukkan “like father, like son”. Sebagaimana Amnon memanipulasi dan memperkosa Tamar dengan kedudukannya, demikianlah ayahnyapun memanipulasi dan memperkosa Batsyeba dengan kedudukannya. Tak hanya itu, persekongkolan Absalom dengan anak buahnya untuk membunuh Amnon paralel dengan persekongkolan Daud dan Yoab untuk membunuh Uria. Dengan kata lain, pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan anak-anak Daud terjadi karena itulah teladan yang diberikan ayahnya!
Ketika nabi Natan datang dan menegur Daud melalui sebuah perumpamaan tentang orang kaya yang merampas domba seorang janda miskin, Daud mengatakan, “Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya, empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan.” Pada akhirnya, yang terjadi kepada Daud adalah seperti perkataannya. Ia bukan hanya kehilangan satu anak, yakni anak Batsyeba (1 Sam. 12:15-18), tetapi total empat anak laki-lakinya: (1) anak dari Batsyeba, (2) Amnon, (3) Absalom, dan nantinya (4) Adoniah (1 Raj. 2:13-25).
Ayah yang gagal mendisiplin anak dan memberikan teladan yang buruk, inilah penyebab tragedi yang terjadi dalam keluarga Daud. Mudah untuk menyaksikan dan mengingat kehebatan Daud, sepak terjangnya ketika melawan Goliat, dan sebagainya. Namun dibalik tabir kesalehan itu, ia adalah seorang ayah yang gagal mendidik anak-anaknya dengan baik. Tetapi, bukankah ini yang sering terjadi dalam gereja masa kini? Seorang Kristen yang baik – entahkan hamba Tuhan, penatua, diaken, pengurus, atau aktivis, yang rajin terlibat dalam pelayanan dan selalu menampilkan sosok yang sempurna, tidak selalu sukses di dalam keluarganya. Demikian pula seorang anak yang kelihatannya baik, dengan prestasi yang gilang-gemilang di sekolah dan pelayanan gerejawi yang banyak, belum tentu memiliki hubungan yang baik dengan orangtua maupun saudara-saudaranya.
Itulah sebabnya, kita membutuhkan hikmat dan kasih dari Tuhan di dalam keluarga kita. Ingat, tempat pertama anak-anak mengenal Tuhan adalah rumahnya. **DO
