Bagikan artikel ini :

Hidup yang Tangguh (The Resilient Life)

Di abad ke-21, ada beberapa riset di bidang ilmu sosial yang mendami tentang kemampuan bertahan dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Di dalam riset-riset itu diteliti antara lain: 3000 orang yang pernah jadi tawanan perang di Korea, 550 orang yang pernah dipenjara dalam perang di Vietnam, dan 52 orang yang pernah disandera selama 14 bulan di Iran.

Ternyata ditemukan kemiripan dari orang-orang ini. Mereka umumnya akan menghidupi salah satu dari dua respon ini ketika menghadapi kesulitan dan penderitaan: 1) Menjadi orang yang kalah, atau 2) Menjadi orang yang tangguh dengan kemampuan yang juga meningkat. Dengan kata lain, jenis kedua ini tidak hanya mampu bertahan, tetapi bahkan berhasil berkembang.

Untuk bisa menghidupi tipe kedua ini dibutuhkan iman. Jika seseorang mengandalkan kekuatan pikiran semata, realitanya ada banyak hal yang terjadi di luar kemampuan berpikir manusia.

Di dalam sejarah, salah satu tokoh inspiratif yang hidup dengan ketangguhan adalah Corrie ten Boom, yang hidup pada masa Perang Dunia II. Keluarganya adalah pengrajin jam yang taat dan sangat mengasihi Tuhan. Tergerak oleh kasih Kristus, keluarga ten Boom membuka rumah mereka sebagai tempat persembunyian bagi orang-orang Yahudi yang dikejar oleh tentara Nazi.

Pada tahun 1944, Corrie dan keluarganya ditangkap dan dikirim ke kamp konsentrasi Ravensbrück di Jerman. Di sana, Corrie menghadapi kondisi yang sangat mengerikan – kelaparan, kekejaman, penyakit, dan kehilangan anggota keluarga yang ia cintai (termasuk saudara perempuannya, Betsie, yang meninggal di kamp). Secara manusiawi, ini adalah keadaan yang dapat menghancurkan iman dan harapan siapa pun. Namun, di tengah semua penderitaan itu, Corrie menunjukkan ketangguhan yang luar biasa yang berakar pada keyakinannya kepada Tuhan.

Ada tiga hal yang setidaknya bisa dipelajari dari kehidupan Corrie. Pertama, mengalami damai dejahtera di tengah penderitaan (Flp. 4:9). Sejak awal berada di tahanan, Corrie dan Betsie tetap mengadakan ibadah rahasia bersama sesama tahanan meskipun berada di kamp yang penuh kekejaman. Mereka membaca Alkitab yang diselundupkan dan berdoa, membawa damai sejahtera dan harapan kepada orang-orang di sekitar mereka. Mereka menunjukkan bahwa damai sejahtera Tuhan tidak bergantung pada keadaan, melainkan pada kehadiran-Nya.

Kedua, mencukupkan diri dalam kekurangan (Flp. 4:11-12). Corrie mengalami kelaparan dan kekurangan yang parah. Ia harus tidur di lantai yang dingin dan jorok, serta hanya diberi sedikit makanan. Namun, ia belajar untuk bersyukur atas hal-hal kecil, bahkan kutu yang ada di baraknya, karena kutu-kutu tersebut membuat penjaga enggan masuk sehingga mereka bisa bebas mengadakan ibadah.

Ketiga, segala perkara dapat ditanggung oleh kekuatan Kristus (Flp. 4:13). Setelah dibebaskan, Corrie tidak menyimpan dendam. Ia bertemu dengan salah satu mantan penjaga kamp. Ketika orang itu meminta pengampunan, Corrie, meskipun pada awalnya sulit, berdoa memohon kekuatan Tuhan untuk mengampuni. Melalui kekuatan Kristus, ia mampu mengulurkan tangan dan mengampuni orang yang telah menyakitinya.

Kisah Corrie ten Boom menunjukan bahwa ketangguhan bukan tentang seberapa kuat seseorang menahan penderitaan, melainkan seberapa besar ia mengandalkan kekuatan Kristus untuk melalui penderitaan tersebut. Hidup Corrie menjadi bukti nyata bahwa, bahkan dalam kegelapan terkelam sekalipun, terang Kristus dapat bersinar dan mengubahkan hidup.  **GE