Favoritisme: Dari Abraham Sampai Keturunan Yakub
Setiap kita paham bahwa keluarga adalah fondasi utama yang Tuhan tetapkan untuk masyarakat dan gereja. Itu sebabnya, Kitab Kejadian menceritakan asal muasal suatu bangsa yang dimulai dari keluarga Abraham. Khususnya Kejadian 12-50, didominasi oleh kisah tentang keluarga lepas keluarga. Para sarjana Alkitab menyebut bagian tersebut dengan istilah “family narratives”.
Alih-alih sebagai gambaran ideal sebuah keluarga, Kitab Kejadian justru menampilkan keluarga yang jauh dari apa yang ideal. Kisah keluarga dari bapa leluhur Israel ini menggambarkan adanya disfungsi keluarga serta intrik-intrik yang terjadi antar anggota keluarga. Uniknya lagi disfungsi tersebut menjadi kelanjutan keturunan Abraham, dimana kita akan melihat drama penipuan, pertengkaran, saling membenci, pilih kasih (favoritisme), egoisme, dan lain-lain. Artikel ini akan secara khusus menyoroti disfungsi keluarga dalam hal favoritisme.
Benih favoritisme ini sebenarnya berpangkal dari keluarga Abraham sendiri. Fakta mengejutkan bagi Abraham harus menerima istrinya, Sara, mandul. Hal ini amat kontras mengingat janji Tuhan sendiri kepada Abraham bahwa ia akan mempunyai keturunan. Sebagai solusinya, sara meminta Abraham untuk menghampiri Hagar sebagai ganti dirinya yang mandul. Disinilah masalah terjadi. Benih favoritisme muncul ketika Hagar merasa dia akan lebih berharga di mata Abraham karena akan memberikan anak sedangkan Sara tetap bangga mempertahankan posisinya sebagai istri Abraham walaupun dia tidak memberikan anak untuk Abraham.
Walau pun demikian, Abraham tetap memilih Ishak untuk dikorbankan sebagia wujud ketaatannya terhadap janji Tuhan, dimana Tuhan sendiri memang memilih Ishak sebagai penerus garis keturunan yang diberkati. Namun, perbedaan perlakuan ini tetap menimbulkan luka dan pengasingan yang menjadi awal dari sebuah pola yang akan berlanjut di kemudian hari.
Memasuki generasi berikutnya, praktik favoritisme meningkat secara eksplisit dan didasarkan pada preferensi pribadi dalam keluarga Ishak. Alkitab dengan jelas mencatat bahwa Ishak lebih mengasihi Esau karena kesukaannya pada daging buruan, sementara Ribka lebih mengasihi Yakub. Pilih kasih ini menjadi sumber malapetaka, membutakan kedua orang tua terhadap kehendak Tuhan dan prinsip keadilan. Akibatnya, keluarga ini dipenuhi dengan tipu muslihat, konflik perebutan hak kesulungan, dan perpecahan yang memaksa Yakub melarikan diri dari saudaranya selama puluhan tahun.
Secara ironis, Yakub yang pernah menjadi korban sekaligus pelaku dalam drama favoritisme keluarganya, gagal memutus mata rantai dosa tersebut. Ia justru mengulangi pola yang sama dengan intensitas yang lebih besar. Yakub secara terang-terangan menunjukkan favoritisme kepada istrinya, Rahel, di atas Lea. Alkitab sendiri mencatat bahwa dari sejak awal, Yakub telah jatuh cinta pada Rahel, bukan Lea (Kej. 29:18). Demi cintanya pada Rahel, Yakub rela bekerja 7 tahun pada Laban, mertuanya, untuk mendapatkan Rahel (Kej. 29:18-20).
Drama ini tidak berhenti. Kisah dilanjutkan dari bagaimana Yakub menumpahkan kasih yang berlebihan kepada Yusuf. Kejadian 37:3 menuliskan: “Israel [nama lain dari Yakub] lebih mengasihi Yusuf dari semua anaknya yang lain, sebab Yusuf itulah anaknya yang lahir pada masa tuanya; dan ia menyuruh membuat jubah yang maha indah bagi dia.” Apa yang terjadi? Sudah tentu perlakuan istimewa ini menyulut api iri hati dan kebencian di hati saudara-saudaranya.
Puncak dari siklus dosa ini adalah ketika favoritisme Yakub terhadap Yusuf membuahkan hasil yang paling pahit, yaitu sebuah konspirasi keji di antara para saudaranya. Mereka tidak hanya melucuti jubah Yusuf, tetapi juga menjualnya sebagai budak dan menipu ayah mereka dengan kebohongan yang kejam selama bertahun-tahun. Dengan demikian, apa yang dimulai sebagai ketegangan dalam keluarga Abraham, telah berevolusi menjadi pengkhianatan dan kehancuran relasi yang nyaris total dalam keluarga Yakub, menjadi sebuah kisah peringatan abadi tentang dampak destruktif dari kasih yang tidak adil.
Apa yang menjadi refleksi buat kita sebagai keluarga Kristen? Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa favoritisme ini menjadi godaan yang senantiasa hadir. Misalnya saja, kita lebih menyukai atau memberi perhatian lebih kepada seseorang dengan alasan, “Anak ini lebih penurut,” atau “Karyawan ini kinerjanya lebih baik,” atau “Jemaat ini lebih aktif melayani.” Kita membenarkan preferensi kita dengan alasan performa, kepribadian, atau bahkan “demi kemajuan bersama”. Akan tetapi inilah titik krusialnya. Ketika kita mulai merasa nyaman dengan perlakuan yang tidak setara, kita sedang menabur benih ketidakadilan yang suatu saat akan bertumbuh menjadi sumber kepahitan di lingkungan kita.
Kedua, secara khusus kisah Esau dan Yakub menunjukan bagaimana favoritisme ini menyebabkan kebutaan hati. Ishak, karena cintanya pada Esau dan kesukaannya pada daging buruan, menjadi buta terhadap nubuatan Tuhan yang telah menetapkan Yakub. Ribka, karena kasihnya pada Yakub, menjadi buta terhadap dosa penipuan dan rela menanggung kutuk demi tujuannya. Rasa like-dislike tersebut dapat membunuh kepekaan kita terhadap suara Tuhan dan prinsip kebenaran. Kita mulai membenarkan cara yang salah demi hasil yang kita inginkan, persis seperti Ribka. Kita mengabaikan fakta dan keadilan demi membela orang yang kita sukai, persis seperti Ishak.
Ketiga, favoritisme ini ternyata dapat berfungsi sebagai penyakit menular. Masing-masing tokoh dalam keluarga leluhur Israel ini malah mewariskan sistem beracun pada keluarganya. Sistem ini tidak diturunkan melalui darah, melainkan melalui pola asuh dan luka yang tidak disembuhkan. Anak-anak belajar tentang cinta, penerimaan, dan nilai diri dari teladan pertama mereka, yaitu keluarga. Ketika mereka tumbuh dalam sistem di mana kasih itu bersyarat, kompetitif, dan tidak adil, mereka menginternalisasi sistem tersebut sebagai sesuatu yang normal.
Pada akhirnya, kita membutuhkan anugerah Tuhan. Anugerah yang memampukan kita sembuh dari sistem yang rusak itu. Luka yang tidak disembuhkan pasti akan ditularkan pada orang lain, maka kita butuh anugerah guna membalut serta menyembuhkan luka tersebut. Hal tersebut terjadi juga ketika setiap kita dengan memohon hikmat dari-Nya guna mengenali sistem yang rusak tersebut. Caranya, dengan kembali melihat aturan yang tidak tertulis dalam keluarga kita. Apakah penghargaan diberikan untuk prestasi akademik, kesuksesan finansial, atau karakter yang penurut? Apakah Anda atau saudara Anda pernah merasakan dampak dari pola ini? Mengenali adanya rantai ini adalah langkah pertama untuk bisa melepaskannya.
Setelah Anda mengenalinya, Anda dipanggil untuk memutuskan rantai itu dengan anugerah Tuhan. Ini adalah sebuah pilihan sadar. Jika Anda pernah dibanding-bandingkan, jadilah orang yang merayakan keunikan setiap pribadi. Kita tidak ditakdirkan untuk mengulangi kesalahan orang tua kita. Dan percayalah bahwa di dalam Kristus, kita memiliki kuasa untuk menghentikan sistem rusak tersebut dan memulai suatu sistem anugerah yang baru.
Selamat menjalani kehidupan keluarga di dalam anugerah Tuhan. **CWS