Antara Keyakinan dan Tindakan
Di dalam dunia psikologi, ada suatu teori yang menjelaskan kondisi konflik mental ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Teori ini disebut disonansi kognitif. Teori yang dipopulerkan oleh Leon Festinger ini setidaknya berupaya memahami bagaimana orang berusaha mencapai konsistensi internal dalam pikiran dan tindakan mereka.
Sadar atau tidak, disonansi kognitif ini terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya saja seorang perokok tahu bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan. Akan tetapi kenyataannya, dia tetap merokok. Di sini ia mengalami disonansi atau ketidakselarasan antara apa yang diketahui (baca: dipercayai) dengan apa yang dilakukan. Oleh karena itu, untuk menyelaraskan konflik ini, ia dapat memilih untuk berhenti merokok atau mencari-cari alasan efek positif dari merokok.
Serupa namun tak sama, Rasul Paulus pernah mengalami konflik sebagaimana dijelaskan teori tersebut. Di dalam surat kepada jemaat di Roma, Paulus berkata, “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.” (Rm. 7:15). Paulus mengakui bahwa ada pertentangan dalam dirinya, di mana ia melakukan hal-hal yang tidak ingin ia lakukan dan tidak melakukan hal-hal yang ingin ia lakukan.
Matthew Henry berkomentar bahwa tulisan Paulus ini lebih tepat dipahami sebagai pergumulan yang tetap ada antara anugerah dan kejahatan dalam jiwa seseorang yang telah dikuduskan. Dia dengan rendah hati mengungkapkan bahwa apa yang jahat dalam dirinya begitu kuat, sehingga ia tidak mampu mencapai kesempurnaan dalam kekudusan yang dia inginkan atau kejar sekuat tenaga. Maka, meski pun Paulus berusaha maju menuju kesempurnaan, ia belum mencapainya, dan belum menjadi sempurna (Flp. 3:12).
Bagaimana menyelesaikan konflik batin bagi orang percaya ini? Paulus sendiri memberi jawabannya, yaitu dengan cara hidup dipimpin oleh Roh Kudus (Gal. 5:25). Maksudnya dipimpin oleh Roh Kudus berarti membiarkan Roh menuntun akal budi dan kehendak kita. Pertama-tama Roh Kudus menyatakan kebenaran pada akal budi, selanjutnya Roh Kudus memampukan kita menghasilkan buah kebenaran itu sendiri (Flp. 1:11).
Apa yang dialami oleh Paulus ini sebenarnya dapat disebut sebagai pengudusan yang progresif. Anugerah dari Allah yang dikerjakan oleh Roh Kudus untuk mentransformasi pribadi orang percaya di dalam pertumbuhan iman yang menuju keserupaan dengan Kristus. Proses ini adalah inisiatif Allah namun bukan berarti meninggalkan tanggung jawab manusia. Dengan demikian orang percaya harus terlibat dengan ketaatan penuh di dalam menjalankan proses pengudusan ini dengan secara aktif menolak dan melawan keinginan untuk berbuat dosa.
Seorang Teolog, bernama J. I. Packer berkomentar bahwa Rasul Paulus bergumul dengan dosa bukan karena ia orang berdosa, melainkan karena ia sudah dikuduskan Allah. Paulus bergumul sedemikian berat karena ia tidak mau terperangkap dalam jaring dosa yang membinasakan. Kesadaran akan konflik dalam kerangka pengudusan progresif ini membawa rasul Paulus, demikian juga kita, mengalami kepekaan rohani. Pertama-tama membuat ia sadar betapa lemahnya dia sehingga memerlukan pertolongan Roh Kudus, dan pada saat bersamaan membuat dirinya bergairah memuliakan Allah.
Mari menyadari betapa lemahnya diri kita. Ketidakselarasan antara keyakinan dan tindakan, bukan sekadar konflik kognitif. Itu adalah konflik batin yang terjadi di dalam kerangka pengudusan progresif. Oleh karena itu masalah hidup rohani kita bukan soal tidak tahu apa yang benar, bukan sekadar selaras atau tidaknya suatu keyakinan, melainkan mau taat atau tidaknya pada kehendak-Nya. Kiranya sebagai anak Tuhan, kita senantiasa mengizinkan Roh Kudus memimpin akal budi dan kehendak, sehingga Kristus semakin nampak dalam hidup setiap kita. Tuhan Yesus memberkati! ** CWS