“Anak-anak dari Anak-anaknya”
Pada tahun 1879, seorang relawan yang bekerja di sebuah penjara di Amerika Serikat menemukan sebuah fakta menarik. Terdapat 42 orang narapidana dalam penjara tersebut yang memiliki kakek buyut yang sama. Begitu menariknya fakta ini, sampai-sampai dilakukan sebuah studi untuk menelusuri siapa kakek buyut dari 42 orang narapidana ini, sekaligus menemukan keturunan-keturunannya yang lain. Albert E. Winship di dalam bukunya A Study in Education and Heredity (1900) mengungkapkan bahwa sang kakek buyut adalah seorang penduduk New York bernama Max Jukes.
Max Jukes adalah seorang ateis yang hidup menurut jalannya sendiri. Ia adalah seorang pengangguran sekaligus preman. Kesukaannya adalah bermain wanita saja. Dari wanita-wanita ini, ia memiliki 11 orang anak. Hidupnya kacau balau, tetapi kekacauan itu tidak berhenti sampai dirinya saja. Dari 11 orang anak itu, ia mendapatkan 1.029 orang keturunan. Dari 1.029 orang itu, 300 orang dari mereka meninggal secara prematur karena kemiskinan, 440 orang hidup dalam pesta-pora dan mabuk-mabukan, 100 orang menjadi pencandu minum-minuman keras, dan 190 orang wanita bekerja sebagai pelacur. Lebih dari 10% keturunannya adalah pelaku kriminal dan masuk penjara, masing-masing sekitar 13 tahun. 60 orang dari pelaku kriminal itu adalah pencuri dan perampok, dan 7 orang menjadi pembunuh. Selebihnya dari keturunan Max Jukes hidup dengan moral yang rusak. Tidak ada satupun yang memberikan kontribusi yang baik kepada lingkungannya dan mereka semua membebani negara dengan hutang $1,200,000.
Tetapi, studi tersebut tidak berakhir sampai di sana. Temuan yang lebih menarik lagi adalah seorang pria yang hidup di zaman yang sama dengan Max Jukes, yang tinggal berdekatan bahkan menempuh pendidikan di sekolah yang sama dengannya, yakni Jonathan Edwards. Sebagai jemaat dari gereja Reformed, tentunya nama ini tak asing lagi bagi kita. Jonathan Edwards adalah seorang teolog sekaligus pastor dari denominasi Reformed yang terkenal dengan kotbah-kotbahnya, salah satu yang paling terkenal berjudul, “Sinners in the Hands of an Angry God” (Pendosa di tangan Allah yang Murka). Ia menulis banyak buku dan menjadi salah satu tonggak Calvinisme modern.
Jonathan Edwards, menurut studi tersebut, memiliki 729 orang keturunan. Dari 729 orang itu, 300 orang menjadi pendeta, misionari, dan guru Alkitab. 14 orang menjadi rektor, 60 orang menjadi profesor, dan 60 orang menjadi pengarang buku yang baik dan terkenal. 66 orang menjadi dokter dan 110 orang menjadi pengacara. Beberapa di antaranya juga menjadi pengusaha. Mengenai kontribusi terhadap negara, tidak ada seorangpun yang membebani negara dengan hutangnya. Malah, banyak yang mengabdi kepada negara. 80 orang menjadi pegawai negri sipil, 75 orang menjadi perwira angkatan bersenjata, 30 orang menjadi hakim, 3 orang menjadi anggota kongres Amerika Serikat, 1 orang menjadi penilik keuangan Amerika Serikat, 1 orang menjadi istri presiden Amerika Serikat, dan 1 orang menjadi wakil presiden Amerika Serikat.
Bukan kebetulan kedua orang ini, Max Jukes dan Jonathan Edwards, memiliki keturunan yang jauh berkebalikan, bagaikan langit dan bumi. Kisah nyata ini adalah sebuah contoh dari apa yang disebut oleh para sosiolog sebagai “pola lima generasi”. Apa yang dilakukan oleh seseorang akan berpengaruh sampai ke keturunan yang ke lima. Itulah warisan yang lebih penting daripada sekedar harta dan jabatan. Keturunan Jonathan Edwards menjadi penerima warisan berkat, sementara keturunan Max Jukes menjadi penerima warisan kutuk.
Ketika mendengar istilah “kutuk keluarga,” seringkali yang muncul di kepala kia adalah hal-hal mengerikan yang berbau gaib. Seorang ayah atau kakek yang pergi ke perdukunan atau kuasa-kuasa yang lain untuk meminta hal-hal tertentu dengan kekuatan-kekuatan gelap, dan sebagai ganti dikabulkannya permohonannya, keturunannya akan “dipersembahkan kepada setan.” Anak atau cucunya kemudian mengalami berbagai musibah bahkan cacat fisik.
Tentu, kita tidak boleh menyangkali keberadaan kuasa-kuasa gelap yang demikian. Namun ketakutan yang berlebihan membuat kita gagal menyadari ancaman yang sebenarnya lebih nyata dan lebih relevan dalam kehidupan masa kini. Memang benar kebanyakan manusia dalam masyarakat modern tidak lagi melakukan praktek-praktek supranatural demikian yang kemudian menyebabkan kutuk keluarga menimpa generasinya. Namun, mereka melakukan banyak praktek-praktek berdosa yang imbasnya akan dialami oleh anak-anak dan cucu-cucunya, sebagaimana ditunjukkan oleh kehidupan Max Jukes. Inilah kutuk keluarga zaman modern.
Seorang ayah yang kecanduan pornografi dapat menjadikan anaknya pecandu pornografi pula, entahkah ketika anak itu memergoki ayahnya, atau ketika sang ayah tidak menegur anaknya yang penasaran dengan hal-hal tersebut, atau bahkan karena ayahnya sendiri yang mengajari anak laki-lakinya untuk memuaskan hasratnya dengan tontonan-tontonan terebut. Demikian pula dosa-dosa yang lain. Seorang perokok akan menghasilkan anak yang suka merokok pula. Seorang pelaku KDRT akan menghasilkan anak-anak yang kemungkinan besar di masa depan akan melakukan KDRT terhadap pasangannya pula. Bahkan, dosa sesederhana kemalasan dapat menjadi kutuk keluarga yang mengakibatkan tidak hanya kemiskinan kepada dirinya saja, tetapi kemiskinan tujuh turunan.
Demikian pula sebaliknya. Ketika seseorang meninggalkan teladan yang baik, sebagaimana yang dilakukan Jonathan Edward, warisan tersebut akan menjadi berkat keluarga yang lebih berharga daripada sekadar warisan materi saja. Amsal 13:22 menggambarkan hal ini dengan sangat tepat, “orang baik meninggalkan warisan bagi anak cucunya, tetapi kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar.” Di dalam bahasa aslinya, ayat ini sebenarnya jauh lebih dalam. Terjemahan yang lebih literal adalah “orang baik meninggalkan warisan bagi anak-anak dari anak-anaknya, tetapi kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar.” Penekanannya adalah pada frasa “anak-anak dari anak-anaknya.” Hal ini dikontraskan dengan harta orang berdosa. Apa maksudnya?
Dalam pandangan kita, orangtua yang meninggalkan warisan materi bagi anaknya sudah cukup baik. Mungkin Anda berpikir, “ini jauh lebih baik daripada orangtua yang tidak meninggalkan apa-apa, apalagi yang hanya meninggalkan hutang saja.” Tetapi semua orang, bahkan yang non-Kristen sekalipun, memiliki cara pikir yang sama. Amsal 13:22 memberikan kita standard kehidupan yang lebih tinggi. “Orang berdosa” merujuk kepada orangtua yang berpikir dirinya cukup baik jika ia bisa meninggalkan sesuatu bagi satu generasi di bawahnya saja, dengan kata lain anaknya. Inilah cara pikir manusia kebanyakan. Apakah warisan yang hanya bertahan satu generasi saja? Kekayaan, demikian kata Amsal, karena kekayaan dapat berpindah tangan ke orang lain. Pribadi-pribadi seperti ini dikontraskan dengan “orang baik” yang tidak hanya memberikan warisan kepada satu generasi sesudahnya, tetapi juga dua generasi sesudahnya (“anak-anak dari anak-anaknya”)? Jawabannya bukanlah kekayaan, melainkan iman, akhlak, dan teladan hidup yang baik! Jonathan Edwards bukan konglomerat kaya yang dapat mewariskan mega corporation bagi anak cucunya. Ia hanyalah seorang gembala dan seorang pengkotbah. Tetapi sampai lima generasi berikutnya, 729 orang keturunannya menjadi orang-orang yang berhasil.
Jadi, bagaimana cara mewariskan berkat-berkat spiritual ini hingga dapat dinikmati tidak hanya sampai di anak, tetapi juga anak-anak dari anak-anak kita? Pertama, penting untuk menyadari warisan buruk apa yang telah diturunkan dari generasi sebelum kita, kemudian berkomitmen untuk memutuskannya. Jika kita hidup dibesarkan oleh lingkungan yang menormalisasi favoritisme – yakni menganak-emaskan salah satu anak berdasarkan gender, urutan kelahiran, kepandaian, dan lain-lain, maka biarlah kita bertekad untuk tidak lagi hidup dalam tradisi tersebut dan mengasihi anak-anak secara adil. Kedua, pilihlah sebuah tindakan konkrit yang sederhana dan dapat dilakukan tiap hari – misalnya memberikan pujian, memeluk, dan sebagainya, dan jadikan hal kecil tersebut sebagai sebuah kebiasaan. **DO