Bagikan artikel ini :

Yang Baik 'Kok Malu, Yang Malu-Maluin 'Kok Bangga?

Hakim-hakim 6:25-32

Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.
- Matius 5:14

Di renungan kemarin, kita membaca bagaimana Tuhan telah memberikan kepada Gideon tanda agar ia tidak ragu lagi menjalankan panggilan Tuhan. Hari ini kita membaca bagaimana malam itu juga, Tuhan memerintahkan kepada Gideon untuk meruntuhkan mezbah Baal, dewa palsu (ay. 25-26). Gideon menjalankan perintah Tuhan, tetapi ia melakukannya pada waktu malam supaya tidak ada yang melihatnya (ay. 27).

“Tidak salah Gideon melakukannya demikian, bukan? Ini adalah tindakan yang berhikmat, supaya ia tidak menarik perhatian banyak orang dan berkonflik dengan mereka.” Mungkin pendapat Anda demikian. Namun, Alkitab mengatakan bahwa alasan Gideon melakukannya karena “takut kepada kaum keluarganya dan kepada orang-orang kota itu” (ay. 27). Bukan karena hikmat, tetapi semata-mata karena takut.

Bukti lebih jauh ada pada ayat-ayat selanjutnya. Jika Gideon memang tidak takut, mengapa ia tidak berani menghadapi langsung orang-orang tersebut serta memberitahukan kepada mereka apa yang menjadi kehendak Tuhan? Sebaliknya, ia justru bersembunyi. Ayahnya, Yoas, dengan satu argumen logis, “Jika Baal itu allah, biarlah ia berjuang membela dirinya sendiri” (Hak. 6:31), seketika mendiamkan dan membubarkan orang-orang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Gideon sebenarnya tidak perlu takut menghadapi mereka. Gideon hanya perlu menunjukkan identitasnya sebagai pengikut Allah yang Sejati. Sayangnya, Gideon malah bersembunyi, padahal ia telah mengalahkan Baal, dewa palsu.

Kisah ini sangat relevan di era media sosial saat ini, dimana orang tidak malu melakukan sesuatu yang malu-maluin, malahan pamer melakukan tren-tren viral yang bodoh dan merugikan. Sebaliknya, kita malu berbuat baik kepada orang lain, apalagi di tempat publik karena takut menjadi sorotan dan dikatai “sok suci”. Jika ada orang yang mengalami kecelakaan, kita memilih untuk menghindar. Jika pengamen yang masuk ke warung, kita pura-pura tuli sambil menunggu orang lain yang memberi. Bahkan, anak-anak muda malu mengakui dirinya masih belum pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah karena takut dikatai kuper (kurang pergaulan). Yang baik ‘kok malu, yang malu-maluin ‘kok bangga?

Pemikiran ini berlawanan dengan natur kita sebagai terang dan garam dunia, sebagaimana yang Tuhan Yesus ingatkan. Identitas kita sebagai pengikut-Nya tidak seharusnya disembunyikan. Ketika kita takut dan malu berbuat baik, apa bedanya kita dengan dunia?


Refleksi Diri:

  • Apakah Anda pernah enggan berbuat baik kepada seorang asing yang membutuhkan, di tempat publik karena malu dikatakan sok suci atau berusaha menarik perhatian?
  • Bagaimana cara Anda melawan ketakutan tersebut sehingga Anda dapat menjadi terang dunia bagi Tuhan?