Mendengar Firman Tuhan di Era Digital yang Bising
Allah menyatakan Diri-Nya melalui berbagai cara, diantaranya melalui Firman-Nya. Melalui Firman itulah Allah menciptakan alam semesta termasuk manusia pertama, Adam. Allah berfirman kepada Adam, memberi perintah kepadanya untuk mengusahakan taman Eden. Allah tetap berfirman kepada manusia setelah mereka jatuh dalam dosa. Firman-Nya terus menerus diserukan melalui para hamba-Nya di sepanjang sejarah umat Tuhan dan mencatatnya menjadi Perjanjian Lama. Sebagai puncaknya, Sang Firman itu sendiri, yakni Yesus, datang ke dunia dan menjadi manusia. Yesus menyampaikan Firman dan meneruskannya kepada murid-murid-Nya yang kemudian mencatatnya menjadi Perjanjian Baru. Inilah yang dikatakan dalam Ibrani 1:1–2, “Pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita… tetapi pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya.”
Tentu saja Allah bukan hanya pernah berbicara pada masa lalu, tetapi Dia masih berbicara pada masa kini. Allah berbicara paling jelas di masa kini tentu saja melalui Alkitab. John Calvin, sang reformator, menggambarkan Alkitab sebagai “kacamata” yang membuat kita dapat melihat Allah dengan benar. Tanpa kacamata itu, kita hanya melihat dengan buram, dibutakan oleh dosa dan kebingungan dunia. Melalui Firman-Nya, Allah menyatakan siapa Diri-Nya, apa yang dikehendaki-Nya bagi manusia dan apa yang menjadi rencana dan tujuan-Nya. Kita tidak mengenal Allah dan kehendak-Nya melalui spekulasi tetapi melalui pewahyuan-Nya.
Masalahnya, saat ini kita hidup di zaman sangat bising dan bersaing memperebutkan perhatian. Suara datang dari segala arah dan sumber, notifikasi gadget yang muncul bertubi-tubi jika tidak dimatikan, media sosial yang berlomba menarik perhatian dengan informasi yang seketika langsung hadir di depan mata, serta beragam aliran informasi lainnya dari berbagai sumber. Riset menunjukkan manusia bisa membuka gadget puluhan hingga lebih dari seratus kali sehari. Kita tidak kekurangan informasi namun justru kemampuan untuk memberi perhatian penuh.
Ironisnya, di tengah semua kebisingan ini, justru suara yang paling kita butuhkan sering menjadi yang paling tak terdengar dan tak terperhatikan, yakni suara Allah. Suara Allah mudah tenggelam, padahal relasi kita dengan Kristus ditentukan oleh seberapa tajam telinga kita peka dan menangkap suara-Nya. Di dalam Yohanes 10:27, Yesus mengatakan, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka.” Kebisingan suara dari sumber lain membuat kapasitas rohani kita juga menjadi lebih mudah tumpul.
Firman Allah tentu saja bukan sekadar informasi terkini seperti yang diberikan sumber kebisingan modern, tetapi menjadi alat pekerjaan Roh Kudus yang dinamis, hidup dan menembus hati. Ibrani 4:12 mengingatkan bahwa Firman itu lebih tajam dari pedang bermata dua. B. B. Warfield, seorang teolog reformed terkemuka, menyebut Alkitab sebagai hembusan nafas dari Allah Roh Kudus sendiri. John Stott, seorang tokoh Injili terkemuka lainnya, pernah mengatakan, “Tidak ada kebangunan rohani yang sejati tanpa kebangunan terhadap Firman Allah.” Karena itu, ketika suara dan peran Firman Allah melemah dalam hidup kita, kekeringan rohani akan mengikuti.
Di era digital, walaupun akses terhadap khotbah, podcast rohani, dan bahan-bahan Kristiani lainnya begitu mudah, kedalaman akan Firman itu sendiri menyusut. Kita mendengar banyak, tetapi merenungkan sedikit. Firman dikonsumsi seperti snack rohani – cepat dan ringan, bukan makanan pokok yang harus dikunyah pelan-pelan. Mazmur 1 menggambarkan orang benar sebagai pribadi yang merenungkan Firman siang dan malam. Kata “merenungkan” memiliki makna seperti mengunyah berulang-ulang, seperti hewan yang memamah biak. Ada keintiman, ada pengulangan, ada kedalaman. Tentu saja ini sulit tercapai jika pikiran kita terpotong oleh notifikasi bertubi-tubi atau keingintahuan melihat informasi lebih banyak dan cepat.
Bagaimana kita bisa lebih peka akan suara Tuhan melalui Firman-Nya di zaman bising suara ini? Pertama-tama tentu saja kita harus meyakini bahwa suara Tuhan melalui Firman-Nya adalah yang sangat penting kalau tidak disebut terpenting untuk membawa hidup kita selaras dengan ritme yang dikehendaki Tuhan. Berikutnya adalah kesediaan untuk merendahkan diri di bawah otoritas Firman, bukan di atasnya. Ketika kita berpikir bahwa Firman itu sudah cukup kita ketahui dan tidak ada lagi yang bisa dikerjakan oleh Roh Kudus melalui Firman-Nya, maka kita terjebak ke dalam sebuah pendekatan intelektual semata terhadap Firman. Secara intelektual, isi Firman Tuhan bisa jadi tidak serumit ilmu-ilmu kekinian seperti AI (artificial intelligence), bioteknologi, atau sains modern. Namun kebenaran Firman bekerja bukan karena kerumitannya, melainkan karena otoritas Allah dan pekerjaaan Roh Kudus di dalamnya. Jika kita melihat Firman hanya sebatas aspek intelektual, tanpa disadari kita bisa melihat diri lebih tinggi dari Firman, membaca Firman tidak lagi menakjubkan karena isinya itu-itu saja, nyaris tidak ada yang baru. Ini membuat kita malas dan tidak lagi membuka hati dan telinga bagi pekerjaan Roh Kudus melalui Firman. Padahal, pekerjaan Roh Kudus melalui Firman yang terus menerus mengajar, menegur, memperbaiki kelakuan, membawa pemahaman yang cocok untuk kondisi hidup kita yang terus berubah sesungguhnya sangat menakjubkan (2 Timotius 3:15-16, Yohanes 14:26, dan sebagainya).
Kita perlu mengingat bahwa Firman Tuhan yang tersedia, yang dibaca dan dipahami dalam konteks pencerahan oleh Roh Kudus adalah sarana anugerah (means of grace) utama untuk memelihara dan menumbuhkan iman kita, baik Firman yang dibaca secara pribadi maupun yang diberitakan di mimbar. Karena itu, kehadiran rutin dalam ibadah di gereja dan keyakinan bahwa pemberitaan Firman Tuhan di mimbar menjadi elemen yang sentral dalam ibadah Minggu, akan menolong kita berkonsentrasi, mencatat dan mendoakan apa yang disampaikan.
Sebagian keengganan orang percaya membaca dan merenungkan Firman juga muncul karena ketidakpahaman akan garis besar sejarah keselamatan sebagaimana diungkapkan di dalam Alkitab atau kerangka teologis untuk memahami Alkitab secara penuh. Pembelajaran dasar melalui berbagai pengakuan iman reformasi seperti Katekismus Heidelberg, akan memberi kita kerangka teologis untuk memahami Firman Tuhan dengan baik sebagaimana telah dipahami oleh bapa-bapa reformasi.
Kesulitan untuk memahami kerangka dasar sejarah keselamatan sebagian disebabkan Firman yang tersedia bagi kita di ibadah umum maupun bahan renungan harian adalah bacaan Firman yang berpindah dari satu perikop ke perikop lain, berdasarkan tema, tetapi tidak ada kesinambungan biblikanya. Metode pembacaan seperti lectio continua, yaitu membaca Kitab Suci secara berurutan, sebagaimana menjadi kebiasaan gereja mula-mula dan gereja di awal reformasi, menolong kita untuk menangkap gambaran besar karya keselamatan Allah dengan lebih baik. Berbagai alat bantu juga sangat banyak tersedia dalam bahasa Indonesia yang mudah diakses secara digital.
Jika kita ingin benar-benar mendengar suara Firman di zaman yang bising, kita perlu menciptakan ruang keheningan. Mazmur 46:11 berkata, “Diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Allah.” Keheningan bukan sesuatu yang kita rasa sebagai hal yang dipaksakan. Keheningan adalah sebuah undangan untuk menikmati Allah dan Firman-Nya. Karena itu, mengatur waktu dan penggunaan gadget menjadi sesuatu yang sangat penting agar niat untuk mendengar suara Allah lebih banyak dan lebih dalam, bisa terlaksana.
Sekalipun dunia akan tetap dan mungkin semakin bising, Firman Tuhan tetap datang bagi anak-anak-Nya karena Allah tidak pernah berhenti berbicara. Ia terus mengetuk, memanggil, dan mengundang kita masuk lebih dalam kepada pengenalan akan Dia dan rencana-Nya. Dia meminta telinga dan hati yang bersedia mendengar. Karena itu, di tengah hiruk-pikuk dunia era digital, respons kita seharusnya tetap sama seperti seorang Samuel kecil, “Berbicaralah, Tuhan, sebab hamba-Mu mendengar” (1 Samuel 3:10). Dengan demikian gereja juga bertumbuh oleh jemaat yang hidup dari Firman, mencintai Firman, dan peka terhadap suara Sang Gembala. ** TDK
