The Resilient Life (Hidup yang Tangguh)

Filipi 4:9-13
EKSPRESI PRIBADI
Hidup kita di era ini penuh tekanan. Baik itu tuntutan pekerjaan, rumitnya relasi, tantangan ekonomi, atau pergumulan batin, semuanya bisa membuat kita merasa lelah. Tak jarang, kita melihat orang yang tampak tangguh di luar, padahal sebenarnya rapuh di dalam—seperti karet gelang yang terus ditarik hingga akhirnya putus.
Namun, ada juga orang-orang yang tetap bisa berdiri tegak meski dihantam masalah. Mereka mungkin jatuh, tapi bangkit lagi. Mereka menangis, tapi tidak kehilangan pengharapan. Itulah yang dinamakan hidup resilien: hidup yang lentur, tidak mudah patah, dan terus melangkah maju.
Hidup ini seperti pipa air. Tekanan yang terkendali bisa membuat air mengalir deras; namun, jika tekanannya terlalu besar dan tak tertahankan, pipa itu akan pecah. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa tetap bertahan di tengah tekanan hidup yang begitu berat?
EKSPLORASI FIRMAN
Rasul Paulus, yang saat itu berada di penjara, berterima kasih atas kepedulian jemaat Filipi kepadanya. Dalam bagian ini, ia tidak sedang mengeluh tentang kekurangan dan masalah yang dihadapinya. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa seorang rasul pun, atau seorang murid Kristus, masih dapat menghadapi berbagai pergumulan. Paulus menyatakan dalam ayat 12 bahwa ia tahu betul apa itu merasa kekurangan, ditinggalkan, dikecewakan, atau disakiti. Bahkan, ada saat-saat di mana ia merasa doa dan permintaannya tidak langsung dijawab oleh Allah. Paulus tidak hanya mengajar, tetapi juga menunjukkan bagaimana menjalani hidup beriman yang kuat, bahkan di tengah penderitaan. Karena itu, ketika kita berbicara tentang resiliensi, maknanya bukanlah tidak pernah jatuh. Sebaliknya, resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali, tetap beriman, dan terus melangkah maju meskipun situasi tidak mendukung. Inilah yang membuat Rasul Paulus dapat berbicara tentang sukacita, damai sejahtera, dan kekuatan dalam situasi sulit.
Rasul Paulus juga mengajak jemaat Filipi—dan kita sebagai pembaca—untuk selalu taat kepada Tuhan, apa pun situasi yang kita hadapi. Ketaatan pada Firman Tuhanlah yang akan memberi kita arah, nilai, dan pegangan, terutama saat dunia menawarkan banyak jalan pintas. Paulus berkata, "Apa yang telah kamu pelajari dan terima dan dengar dan lihat padaku, lakukanlah itu." Ini menunjukkan bahwa hidup yang resilien bukan hanya soal "mental kuat," melainkan berakar pada Firman yang dipraktikkan. Mental kita bisa lelah, tetapi Firman Tuhanlah yang akan membuat kita kokoh menghadapi berbagai tantangan hidup. Mungkin hal ini terdengar klise, tetapi sudah dibuktikan oleh Paulus sendiri. Sebagai seorang murid dan rasul, Firman Tuhan menjadi pegangan dan alasan baginya untuk bersukacita di tengah penderitaan.
Ketiga, resiliensi bukanlah tentang selalu kuat sendiri. Sebaliknya, ini adalah tentang memiliki sikap hati yang mampu beradaptasi, tidak terikat pada keadaan, tetapi pada Kristus. Dalam ayat 11 dan 12, Rasul Paulus menunjukkan bagaimana ia tidak bergantung pada keadaan. Ia pernah mengalami kekurangan, dan ia juga pernah mengalami kelimpahan. Namun, ia mampu bertahan dan beradaptasi dalam segala kondisi dan situasi. Ketika kita bergantung pada situasi dan kondisi, kita akan mudah kecewa. Namun, saat kita bergantung pada Kristus, apa pun kondisinya, kita akan mampu beradaptasi dan merasa cukup. Resiliensi sejati adalah mampu menghadapi perubahan keadaan tanpa kehilangan sukacita dan iman.
Hidup resilien bukanlah hidup tanpa luka, tetapi hidup yang tetap teguh karena ada kekuatan Kristus yang menopang. Saat dunia menekan, kita bisa berkata bersama Paulus: "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Ayat ini sering kali dipakai sebagai slogan motivasi, seolah maknanya adalah: "Saya bisa sukses, saya bisa meraih semua impian, karena Tuhan memberi kekuatan." Namun, jika kita melihat konteks aslinya, Rasul Paulus menulis ayat ini dari dalam penjara. Ia tidak sedang meraih keberhasilan duniawi. Justru, ia sedang terikat, terbatas, dan menderita. Jadi, maksud Paulus bukanlah: "Saya bisa melakukan apa pun yang saya inginkan." Melainkan: "Saya bisa bertahan dalam segala keadaan, karena Kristus memberi saya kekuatan."
“Resiliensi kita sebagai orang percaya bukan terletak pada seberapa kuat mental kita, melainkan pada seberapa dalam kita bersandar kepada Kristus.” (SA)
APLIKASI KEHIDUPAN
PENDALAMAN
Apakah respons Anda menghadapi kegagalan mencerminkan adanya iman yang menopang Anda, atau justru menunjukan adanya ketakutan karena Anda harus menanggungnya dengan kekuatan sendiri?"
PENERAPAN
Ketika Anda lemah, apakah Anda sungguh datang mencari kekuatan dalam doa dan penyembahan kepada Kristus? Di area mana Anda perlu lebih bergantung kepada Kristus, bukan pada diri sendiri?
SALING MENDOAKAN
Akhiri Care Group Anda dengan saling mendoakan satu dengan yang lain.