Bagikan artikel ini :

Nazar Yang Sia-Sia

Hakim-hakim 11:29-40

Karena makin banyak kata-kata, makin banyak kesia-siaan. Apakah faedahnya untuk manusia?
- Pengkhotbah 6:11

Sampailah kita pada kisah paling tragis dalam hidup Yefta. Ia bernazar kepada Tuhan bahwa jika dirinya menang atas bani Amon maka akan mempersembahkan apa yang keluar dari rumahnya untuk menyambutnya (ay. 30-31). Siapa sangka yang pertama menyambutnya adalah anak tunggal perempuannya? Yefta pun mau tidak mau menjalankan nazarnya tersebut (ay. 39).

Apakah bagian ini melarang kita bernazar? Tentu tidak, kita boleh bernazar. Namun, nazar kita harus diutarakan dengan pengertian yang benar. Nazar yang benar adalah nazar yang diucapkan dengan rasa syukur, bukan untuk memaksa Tuhan melakukan sesuatu. Yefta melontarkan nazar dengan pengertian yang salah. Di dalam pikirannya, Tuhan seperti pedagang kikir yang tidak akan memberinya kemenangan, kecuali ia berjanji menyerahkan sesuatu. Bandingkan dengan sikap Yonatan, misalnya, yang menyerahkan pertempurannya kepada Tuhan (1Sam. 14:6). Menang atau kalah, keduanya terjadi sesuai kehendak Tuhan untuk mendatangkan kebaikan (Rm. 8:28). Mengiming-imingi Tuhan dengan nazar tidak akan mengubah ketetapan-Nya.

Tanpa nazar pun, Tuhan sebenarnya sudah berketetapan untuk memberi Yefta kemenangan. Inilah salah satu contoh “makin banyak kata-kata, makin banyak kesia-siaan” yang Salomo peringatkan di ayat emas agar kita berhati-hati. Banyak kata menyebabkan Yefta harus kehilangan anak tunggal perempuannya. Begitu pula kita. Bibir kita sering teledor dan banyak kata dalam bentuk 1.001 janji kepada Tuhan. Kita berusaha membuat Tuhan melakukan yang kita maui dengan menjanjikan iming-iming. Hanya satu perbedaan kita dengan Yefta, setidak-tidaknya Yefta menepati nazarnya. Kita? Lebih sering lupa. Nazar yang sia-sia keluar ketika kita sebenarnya tidak sungguh-sungguh percaya bahwa ketetapan Tuhan adalah yang terbaik. Kita pikir kita lebih pandai daripada Tuhan, jadi berusaha membujuk-Nya untuk mengikuti keinginan kita. Jadilah kita mengambil nazar yang sia-sia seperti Yefta.

Jadi, bagaimana nazar yang benar? Bukan nazar yang bertujuan membujuk apalagi memaksa Tuhan, melainkan sebagai bentuk syukur! Misalnya, kita bersyukur karena Tuhan melancarkan proses pembangunan pabrik atau pembukaan usaha baru. Nazar kita adalah bentuk syukur dengan cara mempersembahkan sejumlah keuntungan dari hal tersebut kepada-Nya. Biarlah nazar yang sia-sia jauh dari bibir kita, tetapi nazar penuh syukurlah yang kita persembahkan.


Refleksi Diri:

  • Apakah Anda pernah mencoba bernazar atau membuat janji kepada Tuhan dengan maksud memaksa Tuhan melakukan apa yang Anda inginkan?
  • Apa langkah praktis untuk memiliki hati yang penuh penyerahan dan rasa syukur atas apa pun yang Tuhan tetapkan dalam hidup Anda?