Menikmati Hidup Bersama Pencipta
“Berkatalah Musa kepada-Nya: Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini. Dari manakah gerangan akan diketahui, bahwa aku telah mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, yakni aku dengan umat-Mu ini? Bukankah karena Engkau berjalan bersama-sama dengan kami, sehingga kami, aku dengan umat-Mu ini, dibedakan dari segala bangsa yang ada di muka bumi ini?” (Kel. 33:15-16).
Tuhan marah bangsa Israel karena menyembah anak lembu emas. Lalu Tuhan memerintahkan Musa memimpin bangsa yang tegar tengkuk ini untuk pergi memasuki tanah Kanaan. Tuhan akan mengutus malaikat berjalan di depan untuk menghalau musuh-musuh mereka. Tetapi Tuhan sendiri tidak akan berjalan bersama mereka, “Sebab Aku tidak akan berjalan di tengah-tengahmu, karena engkau ini bangsa yang tegar tengkuk, supaya Aku jangan membinasakan engkau di jalan.”
Bergaul dengan Allah yang diungkapkan oleh Alkitab, itu sangat mengerikan. Dia adalah Allah yang kudus. Allah yang kudus tidak kompromi dengan dosa, sekecil apapun. Yang namanya dosa tidak akan mungkin memperkenan Allah. Dosa adalah kekejian di mata Tuhan. Akibat peristiwa anak lembu emas ini menewaskan tiga ribu orang Israel sebagai hukuman atas dosa mereka.
Musa berduka, bangsa Israel berduka. Respons Musa ditengah kedukaannya, “Tuhan janganlah suruh kami pergi, jika Engkau tidak beserta dengan kami. Kami tidak akan melangkah jika bukan Engkau yang memimpin kami.” Mengapa?
Tanpa adanya Tuhan bersama mereka pun, sebetulnya tanah Kanaan bisa mereka masuki. Pertama, karna ada malaikat Tuhan yang menjaga mereka. Kedua, karna itu sudah dijanjikan kepada mereka sejak dari nenek moyang mereka – tanah Kanaan sudah menjadi milik mereka. Tanah yang kaya dan di sana mereka hidup sejahtera, mereka akan sukses memasuki dan menikmatinya.
“Sebab TUHAN, Allahmu, membawa engkau masuk ke dalam negeri yang baik, suatu negeri dengan sungai, mata air dan danau, yang keluar dari lembah-lembah dan gunung-gunung; Suatu negeri dengan gandum dan jelainya, dengan pohon anggur, pohon ara dan pohon delimanya; suatu negeri dengan pohon zaitun dan madunya; suatu negeri, di mana engkau akan makan roti dengan tidak usah berhemat, di mana engkau tidak akan kekurangan apapun; suatu negeri, yang batunya mengandung besi dan dari gunungnya akan kaugali tembaga. Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu, karena negeri yang baik yang diberikan-Nya kepadamu itu” (Ul. 8:7-10).
Namun apa gunanya kegirangan mereka masuk tanah perjanjian dengan kekayaannya, kalau Tuhan tidak beserta mereka? Maka Musa merespons, “Tuhan, apa artinya tanah Kanaan tanpa Engkau? Apa artinya keberhasilan kami tanpa Engkau? So please … tanpa Engkau jangan suruh kami pergi.” Sebab Musa (mewakili umat) ingin menikmati keberhasilan hidup bersama dengan Penciptanya. Bahkan Musa berkata, “Apa bedanya kami dengan bangsa lain?” Yang membuat kami berbeda adalah karna Engkau bersama dengan kami.
Apa gunanya kita meraup semua yang kita inginkan atau impikan, kalau tidak bersama Tuhan (atau kalau itu kita dapatkan di dalam dosa). Ada begitu banyak orang yang sangat bangga dengan pencapaian sepanjang hidupnya, tetapi ada sekian banyaknya orang yang meraih prestasinya tanpa adanya Tuhan di sana. Orang bisa menjadi kaya tanpa Tuhan. Ada kesempatan, kerja keras dan tekun. Orang bisa menikmati keberhasilan di dalam hidupnya tanpa Tuhan. Pertanyaannya adalah apakah itu bisa disebut sebagai keberhasilan tanpa ada Tuhan di dalamnya?
Tuhan ingin kita berhasil. Tetapi kebahagiaan kita sebagai umat Allah adalah kalau kita boleh menikmati keberhasilan kita di dalam hidup ini bersama dengan Tuhan. Tuhan ada bersama di dalam langkah-langkah hidup kita. Kita berkata, “Aku tau aku bisa berhasil tetapi aku mau menikmati keberhasilan bersama Engkau, itu keberhasilan sejati.” Menikmati hidup bersama Pencipta adalah keberhasilan sejati dalam hidup ini!
Panggilan kita adalah panggilan untuk bersekutu dengan Tuhan. Dallas Willard dalam bukunya “Hearing God” mengatakan, “Allah menciptakan kita untuk mengalami persekutuan yang intim dengan diri-Nya sendiri, sekarang maupun selamanya.” **AR2
