Bagikan artikel ini :

Diciptakan untuk Berelasi dengan Allah

Manusia adalah makhluk yang memiliki aspek-aspek yang khas. Ia disebut homo sapiens – makhluk berakal budi, mampu berpikir, berhikmat, dan mengambil keputusan. Ia juga adalah homo faber – makhluk yang bekerja, dengan kapasitas untuk mencipta, membentuk, dan membangun dunia di sekelilingnya. Ia adalah homo socialis – makhluk yang diciptakan bukan untuk hidup sendiri, melainkan untuk berelasi dengan sesama. Ia juga homo moralis – makhluk bermoral, tahu membedakan yang baik dan yang jahat, serta bertanggung jawab atas pilihan-pilihan moral dalam hidupnya.

Namun di atas semuanya, manusia terutama adalah homo adorans – makhluk yang menyembah. Ia diciptakan untuk berelasi dengan Sang Penciptanya. Ia bukan hanya makhluk yang memiliki lutut, tetapi juga mampu menekukkan kedua lututnya untuk berdoa dan menyembah. Katekismus Singkat Westminster merangkum dengan ringkas dan tajam, “Apakah tujuan utama hidup manusia?” Jawab, “Tujuan utama hidup manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya.”

Diciptakan sebagai Makhluk Relasional

Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kej. 1:26–27). Allah sendiri adalah Tritunggal – Bapa, Putra, dan Roh Kudus – yang hidup dalam relasi kekal. Tidak pernah ada waktu ketika Bapa berada sendirian. Sang Firman, yaitu Putra, bersama-sama dengan Bapa (Yoh. 1:1). Bapa di dalam Putra, dan Putra di dalam Bapa (Yoh. 10:38; 14:10–11). Hal yang sama berlaku juga bagi Roh Kudus, karena ketiga Pribadi tak terpisahkan.

Dengan demikian, manusia diciptakan menyerupai Sang Pencipta yang tidak pernah berdiri sendiri. Maka ketika Hawa belum diciptakan, dan Adam seorang diri, Allah memandang kesendirian itu sebagai sesuatu yang “tidak baik”, dan memutuskan untuk menciptakan seorang penolong yang sepadan baginya (Kej. 2:18). Ini tidak berarti bahwa seorang manusia tidak lengkap jika ia tidak menikah atau berkeluarga – hal ini jelas tidak benar, karena Yesus sendiri, demikian juga Paulus, tidak menikah, namun sepenuhnya utuh sebagai pribadi. Yang ingin ditekankan adalah manusia tidak diciptakan untuk hidup seorang diri. Ia adalah makhluk yang membutuhkan relasi, sebagaimana Allah Tritunggal – Bapa, Putra, dan Roh Kudus – adalah Allah yang senantiasa berelasi.

Pernyataan bahwa “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja” menegaskan bahwa manusia tidak diciptakan untuk otonomi total. Rancangan Allah bagi manusia bukanlah kehidupan yang individualistis. Sehebat apa pun seorang manusia, ia tetap membutuhkan yang lain. Kebutuhan akan penolong tidak menunjukkan kelemahan, tetapi menyatakan bahwa ketergantungan pada relasi adalah bagian dari Imago Dei, cerminan dari relasi kekal antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

Manusia adalah makhluk relasional. Ia bukan hanya harus berelasi dengan sesama (homo socialis), tetapi terlebih lagi harus berelasi dengan Sang Penciptanya (homo adorans). Relasi antar sesama adalah relasi yang sepadan – mereka sama-sama gambar dan rupa Allah. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah. Tetapi relasi manusia dengan Allah adalah relasi yang tak sepadan. Ia ciptaan, Allah adalah Sang Pencipta. Ia terbatas, Allah tak terbatas. Ia bahkan tak mampu berdiri di hadapan-Nya – lututnya harus bertelut. Maka manusia adalah homo adorans, makhluk yang menyembah. Kewajiban utama dan pertama manusia adalah memuliakan Allah Sang Pencipta (Rm. 11:36; Mzm. 95:6; Yes. 43:7).

Dosa: Rusaknya Relasi Manusia dengan Allah

Relasi manusia dengan Allah rusak oleh karena dosa. Dosa dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, dosa sebagai penyebab, dosa merusak dan memutuskan relasi manusia dengan Allah. “Tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu ...” (Yes. 59:2). Jika relasi antara manusia dan Allah diibaratkan sebagai aliran sungai, maka dosa adalah bendungan yang menghalangi air mengalir. Relasi yang seharusnya mengalir lepas menjadi tersumbat dan terputus.

Kedua, dosa juga dapat dipandang sebagai akibat dari kegagalan manusia untuk menyembah dan berelasi dengan Allah. “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya ...” (Rm. 1:21). Di sini, kegagalan menyembah Allah adalah bentuk nyata dari dosa. Dalam gambaran sungai tadi, ketika aliran air dibendung, maka air harus dibelokkan ke tempat lain – entah ke lahan pertanian, turbin pembangkit listrik, dan sebagainya. Secara rohani, pembelokan ini adalah penyimpangan. Hubungan yang seharusnya terarah kepada Allah, kini diarahkan kepada berhala-berhala (Rm. 1:23).

Manusia adalah homo adorans, makhluk penyembah. Dosa tidak membuat manusia berhenti menyembah, melainkan membuat ia menyembah hal yang salah. Seperti aliran sungai yang tak bisa dipaksa berhenti, manusia tak bisa berhenti menyembah. Ketika ia tidak menyembah Allah, ia akan menyembah sesuatu yang lain – ciptaan lain, berhala, atau bahkan dirinya sendiri. Maka, ketika manusia berhenti berelasi dengan Allah, ia tidak menjadi netral atau kosong; ia justru tunduk kepada sesuatu yang lain, dan menjadi hamba dosa.

Kristus: Pemulihan Relasi dengan Allah

Relasi manusia dengan Allah hanya dapat dipulihkan jika bendungan dosa dihancurkan. Namun manusia sendiri tidak mampu menghancurkannya. Ia impoten – dikungkung oleh dosa dan tidak memiliki kuasa untuk melepaskan diri. Segala perbuatan kesalehannya hanyalah seperti kain kotor (Yes. 64:6). Seperti macan tutul tidak dapat mengubah bintiknya, demikian pula manusia tidak dapat mengubah natur dosanya (Yer. 13:23). “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah ...” (Rm. 3:10–12).

Hanya Yesus Kristus yang mampu menghancurkan dosa dan memulihkan relasi manusia dengan Allah. Melalui kematian-Nya di kayu salib, Ia menjadi satu-satunya pengantara (1 Tim. 2:5), satu-satunya jalan kepada Bapa (Yoh. 14:6). Melalui darah-Nya, pendamaian terjadi antara manusia dan Allah (Kol. 1:19–20). Dan melalui Dia, manusia menerima Roh Kudus yang memampukan orang percaya berseru, “Abba, ya Bapa!” (Rm. 8:15).

Manusia adalah homo adorans. Di dalam Kristus, manusia dipulihkan sebagai penyembah sejati – sebagaimana ia diciptakan semula. **PD