Bagikan artikel ini :

Character Over Image

Satu kali saya mendengarkan percakapan di radio. Sang pembawa acara menanyakan kepada rekannya mana yang kamu pilih kaya tetapi hidup menderita, atau miskin tetapi bahagia. Maka rekannya langsung menjawab, tentu kaya sekalipun menderita! Karena setidaknya dia bisa menangis seorang diri di pulau pribadinya. Percakapan ini menangkap pergeseran cara pikir disekitar kita, dimana yang terukur dan nampak dalam pandangan orang dinilai lebih penting daripada yang terjadi di dalam diri seseorang yang kadang tidak nampak dari luar. Cara pikir ini menitikberatkan citra diri di atas segalanya, bahkan di atas moralitas, integritas, dan karakter.

Di satu sisi, punya citra diri yang baik tentu tidak salah, bahkan bisa menjadi sangat berguna baik dari sisi profesional maupun dari sisi spiritual. Citra diri yang baik akan menolong kita untuk memberi dampak yang lebih besar kepada lingkungan. Namun bahaya muncul jika citra diri menjadi satu-satunya hal yang kita utamakan melampaui apapun. Terutama sebagai orang Kristen, karena cara hidup kita amat berbeda dengan cara pandang dunia hari ini.

Paulus seorang yang dikenal luas sebagai Rasul, mendirikan banyak gereja, menulis banyak surat kepada jemaat-jemaat yang didirikannya, dan sebagian surat itu menjadi bagian dari Alkitab kita hari ini, orang yang amat besar pengaruhnya bagi kekristenan. Sekalipun demikian ada satu prinsip utama yang Paulus senantiasa pegang, hidupnya hanya untuk memberitakan Injil, dan untuk itu ia melatih dirinya sedemikian rupa. “Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak” (1 Kor. 9:27). Sebagai Rasul ia patut mendapat hormat, bahkan hak untuk diberikan dukungan finansial, namun Paulus sengaja tidak menuntut haknya, apalagi menyalahgunakan kuasa yang ada padanya, agar dirinya tidak menjadi batu sandungan. Dalam Fil. 4:11, Paulus menegaskan bahwa ia sudah belajar mencukupkan diri dalam segala hal, baik dalam kekurangan maupun kelimpahan.

Karena alasan yang sama pula, Paulus rela menderita demi Injil, berkali-kali masuk penjara, menerima siksaan, dipermalukan. Citra dirinya tidak menjadi hal yang terutama bagi dirinya, dikenal sebagai tawanan, karena yang terutama bagi dirinya adalah memberitakan Injil. Adapun citra diri yang diperhatikan Paulus adalah agar dirinya tidak menjadi batu sandungan. Paulus tidak mengukur citra dirinya dari pencapaian material, citra diri Paulus yang terutama adalah kesetiaan kepada Injil. Selama orang dapat melihat bahwa seluruh hidupnya diabdikan untuk Injil, baik dalam hidup dan matinya, inilah satu-satunya citra diri yang dijunjung tinggi oleh Paulus. Karenanya fokus terutama Paulus bagi dirinya adalah perubahan karakternya yang semakin hari boleh semakin menjadi serupa dengan Kristus, supaya keberadaannya bisa memenangkan banyak orang.

Apa yang membedakan Paulus dengan kita hari ini adalah panggilan hidup yang jelas. Ajakan untuk menjadikan kekayaan, kekuasaan, dan pencapaian sebagai ukuran citra diri bukan hal yang baru. Zaman Paulus orang mempertontonkan kekayaan, kekuasaan, dan pencapaian untuk mendapatkan nama di hadapan banyak orang. Namun yang membuat Paulus tidak terombang-ambing dengan semua itu adalah karena ia tahu tujuan hidupnya, yakni untuk memberitakan Injil. Atas dasar panggilan ini, Paulus menempatkan seluruh prioritas hidupnya dan memfokuskan segala yang ia miliki untuk mencapai tujuan itu.

Godaan untuk menjunjung citra diri akan selalu ada, dari zaman ke zaman tidak pernah berubah, hanya beda cara dan bentuknya saja. Untuk melawan itu semua bukan dengan serta-merta membuang seluruh keinginan, melainkan dengan memahami panggilan hidup kita, dan menyusun hidup kita untuk mencapainya.