Lost and Found: Searching For The Lost (Menjangkau Yang Hilang)

LUKAS 15:11-32
EKSPRESI PRIBADI
Dalam kehidupan sehari-hari, kita semua pasti pernah kehilangan sesuatu, entah itu dompet, kunci, pekerjaan atau bahkan orang yang kita kasihi. Saat kehilangan terjadi, kita merasa gelisah, tidak tenang dan berusaha untuk menemukan kembali apa yang hilang. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa Allah juga merasakan hal yang sama ketika satu jiwa tersesat, terhilang sehingga Dia memutuskan pergi mencarinya. Bagikan dalam CG anda apa perasaan Anda saat melihat jiwa-jiwa yang terhilang dan apa yang Anda lakukan bagi mereka? Bagaimana perasaan Anda saat jiwa tersesat kembali kepada Tuhan?
EKSPLORASI FIRMAN
Konteks Lukas 15 merupakan bagian dari kumpulan perumpamaan Yesus tentang hal-hal yang hilang: domba yang hilang (ayat 1–7), dirham yang hilang (ayat 8–10), dan anak yang hilang (ayat 11–32). Ketiga perumpamaan ini diberikan Yesus kepada orang Farisi dan ahli Taurat yang mengkritik diri-Nya karena bergaul dengan para pemungut cukai dan orang berdosa (Luk. 15:1–2). Perumpamaan ini menekankan kasih dan anugerah Allah mencari dan menyelamatkan orang-orang berdosa. Apa yang dapat kita pelajari dari teks Lukas 15:11-32 ini?
Pertama, pemberontakan dan kejatuhan. Lukas 15:11-16 menggambarkan awal kisah anak yang hilang, di mana anak bungsu meminta warisannya dan pergi ke negeri jauh untuk hidup boros dan sia-sia. Ketika hartanya habis dan kelaparan melanda, ia jatuh ke titik terendah, bekerja menjaga babi dan bahkan ingin memakan makanan mereka. Perikop ini menunjukkan kehancuran yang terjadi ketika seseorang memilih untuk menjauh dari kasih dan perlindungan Allah, serta menggambarkan betapa dalamnya manusia bisa terjatuh saat hidup dalam dosa tanpa arah dan tujuan. Tim Keller dalam buku The Prodigal God menjelaskan bahwa bagian ini menggambarkan pemberontakan manusia terhadap Allah. Anak bungsu meminta warisan sebelum ayahnya mati, ini sebuah penghinaan besar dan melambangkan keinginan manusia untuk menikmati berkat Allah tanpa memiliki hubungan dengan-Nya. Jadi, inti dari dosa adalah ketika manusia menjauh dari Tuhan dan hidup menurut kehendak sendiri untuk mengejar kesenangan dunia, “Kita sekalian sesat seperti domba…” (Yes. 53:6); dan “Upah dosa ialah maut...” (Rm. 6:23). Namun kasih Allah tidak tergantung kelayakan manusia. Dia memberikan anak-Nya yang Tunggal dan mati menanggung dosa kita (Yoh. 3:16).
>
Kedua, pertobatan dan pemulihan. Lukas 15:17-24 menggambarkan momen pertobatan anak bungsu yang menyadari kesalahannya dan memutuskan untuk kembali kepada ayahnya dengan hati yang menyesal. Pertobatan sejati dimulai dari kesadaran diri akan dosa dan keberanian untuk mengakuinya dan kembali kepada Tuhan. Saat ia pulang, sang ayah menyambutnya dengan penuh belas kasih, berlari menemuinya, memeluk, dan mengadakan pesta untuk merayakan kepulangannya. Perikop ini menekankan kasih Allah yang besar dan pengampunan-Nya yang tanpa syarat bagi siapa pun yang bertobat dan kembali kepada-Nya dan bahwa ada sukacita besar terjadi di surga ketika satu orang berdosa bertobat. John Piper melihat Lukas 15:17-24 sebagai contoh yang indah dari kemuliaan Injil, di mana Allah digambarkan bukan sebagai Hakim yang menahan diri, tetapi sebagai Bapa yang berlari penuh sukacita untuk menyambut anak-Nya. Ia mengatakan bahwa kasih Allah lebih besar dari rasa malu dan dosa kita, dan bahwa sukacita Allah dalam menyelamatkan orang berdosa seharusnya menggerakkan kita untuk memuliakan Dia. Ini adalah simbol kasih karunia yang mendahului pertobatan sejati (Ef. 2:8-9). Akhirnya anak bungsu ini mengalami pemulihan secara total, dikenakan jubah, cincin, kasus, dan pesta besar (ayat 22-24). Tanda pemulihan sebagai anak, bukan sekadar hamba. Jadi, pertobatan sejati disambut dengan anugerah, bukan hukuman Allah.
Ketiga, respons terhadap pertobatan. Lukas 15:25-32 menceritakan reaksi anak sulung yang marah dan iri hati ketika mengetahui adiknya yang telah sesat disambut dengan pesta oleh ayah mereka. Ia merasa tidak adil karena selama ini setia bekerja namun tidak pernah mendapat perlakuan serupa. Sang ayah dengan lembut menjelaskan bahwa semua miliknya adalah milik anak sulung juga, namun kepulangan si adik patut dirayakan karena ia "telah mati dan menjadi hidup kembali." Martin Luther berpendapat bahwa Anak sulung mewakili orang-orang Farisi atau mereka yang merasa diri benar, gagal memahami bahwa keselamatan bukan hasil usaha atau ketaatan hukum, melainkan pemberian kasih karunia Allah. Sikap anak sulung mencerminkan kecenderungan manusia yang mengandalkan hukum, bukan Injil. Perikop ini mengajarkan bahwa kasih dan anugerah Allah melampaui keadilan manusia dan mengajak orang percaya untuk tidak menjadi sombong dalam kesalehan pribadi, tetapi turut bersukacita atas pertobatan dan keselamatan orang lain.
Mungkin banyak orang Kristen rajin beribadah dan rajin terlibat pelayanan, tetapi sudah kehilangan hati yang peka akan belas kasihan Allah kepada mereka yang terhilang. Hidup hanya memikirkan diri sendiri, mengejar ambisi pribadi dan kebutuhan sendiri, tanpa peduli dan berbagi kasih dengan orang lain. Setelah mendengarkan firman Tuhan ini, semoga kita memiliki pikiran, hati dan aksi nyata seperti Kristus terhadap mereka yang hina, papa dan terhilang. (SL)
APLIKASI KEHIDUPAN
PENDALAMAN:
Apakah ada sikap seperti anak sulung dalam hati Anda: merasa lebih layak, lebih benar dan sulit menerima orang yang bertobat, kembali kepada Tuhan? Bagaimana Anda belajar melihat orang lain dengan mata kasih seperti Allah?
PENERAPAN:
Siapakah dalam hidup Anda yang mungkin sedang “terhilang” menjauh dari Tuhan: komunitas, teman kerja, teman kuliah atau anggota keluarga Anda? Bagaimana Anda bisa menjangkau mereka dengan kasih seperti Bapa dalam perumpamaan ini?
SALING MENDOAKAN
Akhiri Care Group Anda dengan saling mendoakan satu dengan yang lain.