Bagikan artikel ini :

Imam Besar Yang Sempurna

Imamat 21:10-24

Setiap orang dari keturunan imam Harun, yang bercacat badannya, janganlah datang untuk mempersembahkan segala korban api-apian TUHAN; karena badannya bercacat janganlah ia datang dekat untuk mempersembahkan santapan Allahnya.
- Imamat 21:21

Dalam Perjanjian Lama, imam besar memiliki peran krusial sebagai perantara antara Allah dan umat Israel, khususnya dalam pelayanan di Hari Pendamaian (Yom Kippur). Imam adalah satu-satunya orang yang diperbolehkan masuk ke dalam Ruang Mahakudus untuk mempersembahkan darah korban sebagai penebusan dosa bagi umat Israel (lih. Im. 16). Tugas imam menekankan kekudusan dan mengemban tanggung jawab besar karena melalui pelayanannya, umat memperoleh pengampunan dan pemulihan hubungan dengan Allah. Peran krusial seorang imam menggambarkan betapa pentingnya kekudusan dan ketaatan dalam pelayanan rohani.

Perikop bacaan hari ini merupakan uraian standar yang tinggi bagi imam besar yang ditetapkan Tuhan, termasuk persyaratan fisik yang ketat. Imam besar tidak boleh menajiskan dirinya, bahkan untuk keluarganya sendiri dan harus menjaga kekudusan dengan cara tidak menikah dengan wanita yang diceraikan atau memiliki latar belakang yang tidak kudus. Selain itu, keturunan Harun yang memiliki cacat fisik tidak boleh mempersembahkan korban di hadapan Tuhan, meskipun mereka masih diperbolehkan makan dari persembahan kudus. Persyaratan ini bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan sebuah penggambaran kekudusan yang sempurna, yang digenapi dalam diri Yesus Kristus sebagai Imam Besar yang tidak bercacat dan tak bercela (Ibr. 4:15; 7:26; 9:14). Yesus, sebagai Imam Besar yang sempurna, memenuhi semua tuntutan hukum Taurat dan menjadi perantara sempurna antara Allah dan manusia.

Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk meresponi dengan rasa syukur dan memberi penghormatan yang mendalam kepada Yesus Kristus, Imam Besar yang tak bercacat dan tak bercela. Yesus telah mempersembahkan diri-Nya demi penebusan dosa kita. Karena itu, kehidupan kita seharusnya mencerminkan kekudusan dan ketaatan yang serupa, sebagai espons terhadap kasih dan pengorbanan-Nya. Jika kita dapat menjaga kekudusan dan memelihara ketaatan, kita dapat hidup dalam damai bersama Allah, dengan hati yang bersih dan taat kepada-Nya.


Refleksi Diri:

  • Bagaimana Anda ingin mewujudkan rasa syukur atas pengorbanan Yesus sebagai Imam Besar yang sempurna?
  • Apakah Anda hidup dengan kesadaran akan kekudusan Allah dan berusaha menjaga kekudusan dalam setiap aspek kehidupan?