Bangun Komunikasi
Hakim-hakim 11:12-28
Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!
- Roma 12:18
Sesudah menyetujui permintaan para tua-tua Gilead untuk menolong mereka melawan orang Amon, apa yang Yefta lakukan? Apakah ia langsung mengasah pedangnya dan mengumpulkan prajurit? Apakah ia membangun benteng-benteng? Tidak! Menarik sekali bahwa yang dilakukannya adalah mengirimkan utusan dan berdiplomasi. Sayang sekali usaha diplomasinya gagal.
Meski tumbuh di dalam lingkungan yang tidak ideal di antara para perampok, Yefta cukup berhikmat untuk tidak langsung menabuh gendang peperangan. Ia mengusahakan perdamaian dengan cara diplomasi dan menjelaskan pokok persoalannya (ay. 15-27). “Violence is not the answer” (kekerasan bukan jawabannya), kata orang.
Meski akhirnya usaha diplomasi tersebut gagal, setidaknya Yefta mencoba membangun komunikasi dengan pihak lawan. Tidak demikian dengan kita. Sering kali kita langsung memilih menggunakan kekerasan. Ya, memang kekerasan kita bukanlah kekerasan fisik, tetapi kita membanting pintu, walk-out, atau memutus telepon ketika ada sedikit kesalahpahaman. Ketika seseorang melakukan kesalahan kepada kita, bukannya membangun komunikasi, kita langsung menghindar, memusuhi, bahkan berpikir bagaimana caranya untuk membalas. Kita mengancam akan mem-PHK atau resign. Kita mengancam akan memakai jalan hukum jika keinginan tidak dipenuhi. Semua ini adalah bunyi tetabuhan perang. Bagaimana dengan pelayanan gerejawi? Perang yang terjadi biasanya perang dingin. Kita membangun kelompok-kelompok dan berusaha menjatuhkan satu sama lain, meski setiap hari Minggu kita saling menyapa, “Shalom!” dan berjabat tangan.
Rasul Paulus di ayat emas, memerintahkan pembacanya untuk mengusahakan perdamaian dengan semua orang. Mengapa? Karena cerminan identitas baru kita sebagai murid Kristus. Paulus dahulu adalah musuh-Nya. Namun, Tuhan Yesus bukannya memerangi Paulus, melainkan mati baginya bahkan ketika ia masih berdosa (Rm. 5:8). Demikian pula kita yang telah diperdamaikan dengan Allah melalui pengorbanan Tuhan Yesus, seharusnya meneladani-Nya.
Lain kali, jika ada kesalahpahaman, cobalah berbicara dengan suara yang lebih lembut, “Maaf, sepertinya saya kurang mengerti maksud Anda, dan begitu pula sebaliknya. Coba kita bicarakan baik-baik.” Ketika ada yang bersalah, cobalah datang padanya, “Maaf, saya terganggu dengan hal yang Anda lakukan. Mengapa Anda melakukannya?” Jika ada perbedaan visi, cobalah berdiplomasi. Ketika ada ketidakpuasan terhadap karyawan atau atasan, cobalah mengutarakannya secara sopan. Niscaya kita dapat menghindari pertengkaran-pertengkaran yang tidak perlu.
Refleksi Diri:
- Bagaimana cara Anda menyelesaikan konflik? Apakah dengan membangun komunikasi terlebih dahulu atau langsung menggunakan cara-cara “kekerasan”?
- Apa kesulitan-kesulitan Anda dalam membangun komunikasi berdasar pengalaman Anda?