Sia-Sia Karena Malas
Hakim-hakim 18:1-10
Si pemalas mencelupkan tangannya ke dalam pinggan, tetapi ia terlalu lelah untuk mengembalikannya ke mulutnya.
- Amsal 26:15
Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang begitu malasnya, sampai-sampai makan saja enggan, padahal makanan sudah tersedia di depannya? Ia terlalu menikmati tidur-tiduran di kamarnya dan keluar untuk makan, menguras energinya terlalu banyak. Itulah orang malas.
Di bagian ini, kita melihat bukan hanya satu orang, melainkan satu suku yang malas. Dikisahkan bahwa suku Dan masih belum punya tempat untuk menetap (ay. 1). Ini aneh sekali, sebab semua suku telah menerima “jatahnya” masing-masing sejak pemerintahan Yosua. Yosua 19:40-46 bahkan menyebut bahwa mereka telah mendapatkan tanah. Jadi, mengapa mereka sekarang terkatung-katung tanpa memiliki rumah?
Jawabannya, meski mereka sudah mendapat pembagian tanah, tetapi adalah tanggung jawab mereka untuk memerangi dan menghalau orang-orang Kanaan yang hidup di sana. Beberapa ahli biblika berpendapat, bani Dan melakukannya dengan asal-asalan, sampaisampai tanah yang mereka sudah peroleh direbut kembali oleh orang-orang Filistin. Sayang sekali, bukan? Itulah sebabnya mereka kini tidak punya tempat untuk menetap.
Lebih disayangkan lagi, bani Dan sebenarnya bukan suku yang lemah. Mereka adalah suku terbesar kedua sesudah suku Yehuda (Bil. 1:27, 39). Menjelang masuk ke Kanaan pun, ketika diadakan sensus kedua kalinya, sekali lagi mereka menduduki peringkat kedua suku terbesar dengan jumlah 64.400 (Bil. 26:42-43). Suku-suku yang lebih kecil memiliki tempat tinggalnya, mengapa suku Dan yang lebih besar tidak? Inilah yang membuat para ahli biblika berpendapat bahwa suku Dan bukannya tidak bisa berperang melawan orang-orang Kanaan. Mereka tidak mau karena malas.
Pernahkah Anda bertemu orang seperti ini? Atau Anda sendiri orangnya? Memiliki begitu banyak talenta, dipercayakan berbagai hal besar, diberi kesempatan-kesempatan emas yang orang lain hanya bisa bermimpi mendapatkannya, tetapi menyia-nyiakan semua itu karena malas. Seperti kata orang: bodoh bisa disembuhkan, tetapi tidak ada obat untuk kemalasan.
Seringkali kita melihat kemalasan adalah dosa sepele karena, “Kan aku tidak mencederai orang?” Oh ya? Menyia-nyiakan waktu, talenta, kesempatan, dan tenaga karena malas, bukankah itu mencederai diri sendiri? Kalau Anda merasa sedih melihat anak-anak atau orang yang Anda kasihi menyia-nyiakan segala hal itu karena kemalasannya, tidakkah Anda merasa sedih juga terhadap diri Anda sendiri?
Refleksi Diri:
- Apakah Anda pernah menyia-nyiakan waktu Anda? Misalnya, menunda-nunda pekerjaan atau membuang-buang waktu seharian di depan TV atau telepon genggam?
- Apa talenta-talenta yang Anda miliki? Apakah talenta tersebut Anda sia-siakan karena enggan dan malas menggunakannya?